Semula aku mengira kadir itu orang gila.
Habis wajah dan penampilannya bloon banget sih. Tapi ternyata kadir anak malang
yang dilahirkan cacat mental. Kata nenek, tingkahnya memang seperti anak kecil.
Suka menjulurkan lidah dan tiba-tiba terkekeh sendiri.
Waktu aku hendak mengeposkan surat pada
mama. Aku mengabarkan kalau seminggu lagi liburanku habis dan minta dijemput di
stasiun gambir.
Tiba-tiba kantor pos kecamatan yang kecil
itu menjadi sedikit ribut. Kadir terkekeh-kekeh dan berusaha menirukan kegiatan
pengunjung kantor pos. Dia ikut-ikutan mengelem perangko dan amplop.
Kadir sempat dibentak seorang ibu yang putrinya menangis ketakutan. Padahal
waktu itu kadir tidak sedang apa-apa. Dia cuma terkekeh.
Dengan takut-takut aku meminta
lem yang tadi dipegang kadir. Tak seperti kekekawatiranku, ternyata kadir
tidak mengamuk. Bahkan dia santun sekali memberikan lem itu padaku. Setelah
mengelem perangko dan menunggu antrian, aku melihat tingkah kadir lewat ujung
mataku.
Anak berambut keriting dengan pakaian sedikit
kumal itu sibuk mengaduk-aduk lem. Setelah bosan dia memandang potret barisan
anak sekolah yang tak jauh darinya. Kadir terkekeh, mengusap potret itu,
berusaha mencopotnya, lalu dengan susah payah mencoba memasangnya. Kadir
terkekeh-kekeh lagi ketika berhasil memasang. Aku tersenyum melihat tingkah
kadir.
Ketika seorang petugas kantor pos keluar
dari tempat kerjanya, kadir tiba-tiba mencegat dan mengangkat tangan kanannya
sambil memukul-mukul pergelangannya. Petugas kantor pos memberinya sekeping
recehan, tetapi kadir menampik.
“Tidak mau ya sudah.” Kata
petugas itu.
Kadir terkekeh lagi.
Tiba-tiba mataku melotot. Kadir masuk ke
tempat parkir dan kulihat dia mencoba menaiki sepeda federal baruku. Setelah
meneyrahkan surat kepada petugas kantor pos aku buru-buru berlari keluar dan
merebut sepedaku dari tangan kadir. Aku tidak ingin sepeda baru hadiah dari
nenek dikotori air liurnya.
Segera kunaiki sepedaku dan melarikannya
jauh-jauh dari wajah kadir yang kulihat saat itu sangat murung.
Wajahku pucat. Aku sudah mencarinya
kemana-mana tapi kartu atm mbak sinta tidak kutemukan. Aku sudah mulai panik.
Air mata menggenang di pelupuk mata. Nenek dengan lembut mengusap punggung
tanganku. “kamu kemarin kemana saja ? Mungkin kartu atm itu jatuh waktu kamu
pergi ke kantor pos.”
“oh, iya nek !” Aku buru-buru keluar
rumah.
Kutelusuri jalan menuju kantor pos.
Pandanganku menunduk. Siapa tahu kartu atm itu kutemukan di jalan.
Sudah lewat satu hari. Kalau ada yang
mengambilnya , dan misalnya orang itu jahat, oh seluruh tabungan mbak sinta
sebagai penyiar pasti hilang. Aku panik sekali.
Sampai di halaman kantor pos kartu itu
belum juga kutemukan. Kutanyakan pada petugas di sana, tetapi mereka
tidak tahu.
Aku keluar dengan tubuh lemas. Aku siap
dihukum mbak sinta. Aku pantas dihajar mbak sinta, aku pantas....tiba-tiba aku
meloncat. Sepedaku dipegang-pegang kadir !
Rasa kesal bercampur panik membuatku
melayangkan pukulan pada kadir. Anak itu jatuh terguling. Kadir meringis.
Lututnya luka. Lalu dengan berdiri sempoyongan kadir menyerahkan kartu atm
padaku.
Aku terpaku. Aku telah salah sangka.
Kadir, si bloon itu ternyata orang
yang baik dan jujur. Dia telah menyelamatkanku. Aku tersadar ketika kadir sudah
tidak ada di depanku. Terburu-buru aku mengayuh sepeda mengejar kadir yang
berjalan terseok-seok.
“hai, siapa namamu ? Aku yuda, terima
kasih ya.”
Tapi kadir berjalan terus sambil
terkekeh-kekeh. Aku mencoba memberinya uang tetapi dia tidak mau. Ketika aku
berhasil menghentikan langkahnya, kadir memegang –megang sepedaku. Aku
membiarkannya. Aku ingin membuatnya bahagia. Aku merasa sangat bersalah.
Lalu aku bonceng kadir dan kuajak keliling
kota. Aku lihat dia sangat senang. Aku selalu tertawa melihat tingkahnya
“Besok kita main lagi ya ?” Kataku ketika
hari sudah sore.
Aku lihat kadir sangat sedih ketika
diturunkan dari boncengan. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Hari sudah
sore, pasti nenek cemas. Aku segera menggenjot sepedaku dan meninggalkan kadir
begitu saja di jalan.
Tetapi besoknya aku harus berkemas-kemas
karena liburan lusa sudah usai. Aku harus kembali ke jakarta. Aku
lupamengatakan pada kadir. Tapi kupikir kadir pasti lupa. Lagipula aku malas
kalau harus ke kantor pos yang lumayan jauh itu. Sampai aku kembali
ke Jakarta dan aku tidak pernah bertemu kadir.
Siang sangat panas. Segelas jus apel
langsung menyegarkan tenggorokanku.
“tuu, ada surat dari nenek,” kata mbak
sinta.
Kulempar tubuhku di ranjang. Kusobek
amplop surat nenek. Aku termangu ketika membaca surat nenek.
Nenek bercerita tentang keadaan beliau
yang sehat dan baik-baik saja. Juga tentang..kadir yang meninggal dunia. Kata
orang, dia tertabrak kendaraan ketika berdiri di depan kantor pos. Sepertinya
sedang menunggu . Tetapi tidak ada orang yang tahu dia menunggu siapa.
#2001#
Cerita ini dibuat saat penggunaan telepon seluler untuk komunikasi tidak menjamur seperti sekarang ini, dulu orang banyak berkomunikasi jarak jauh menggunakan surat.