Puisi: Slamet Rahardjo Rais
Sumber: Suara Karya, Edisi
03/19/2006
Salam Matahari
matahari senantiasa mengirimkan kesetiaan
salamnya. sujudku hujan menjelang senja
sebagaimana harapan ladang-ladang
dan aroma tanah yang menunduk
walau dalam kantuk. baca dan simpan
semua yang lewat mengajariku
untuk memasuki tasbih mata langit
dzikir kota-kota yang mencemaskan kegelisahan
(anak-anak melesat terjebak pusaran
Pintu jendela rumah terasa belukar ilalang)
mengajariku agar burung mawarku terbang
berjabat tangan
ke tiang-tiang pasar
kereta api dan bis kota
tempat berjejal pikiran purba
sedemikian perkasa kekuatan membuat keutamaan
membunuh tumpukkan keputus-asaan
(mengunyah sujud lembah-lembah
Terowongan memanggil dalam wujud terang)
meminta ruh peristiwa
segera belajar terhadapnya
ketika berenang merebut kabut
membuat hujan
air meluas sebagai persajakan putih
menghalau belukar liar tumbuh di dalam dada
Interogasi Cermin
sejumlah interogasi terpahat di dinding
cermin memantulkan sejumlah wirid doa
menyelesaikan jarak
seorang pemburu melacak
suara yang lapar terjabak
tetapi yang terdengar petikan rebana
sebagai suara ayat-ayat kitab
dibacakan mengenang nasib tergeletak
tak mungkin tanpa menyebut
sejumlah luka
ombak mengusung kehendak
debar mengusung kerikil dan batu
menjadi onggokan tugu kota
megah sebagai saksi sejarah
kecemasan memang menggigilkan
nama senyap merekan suara. diam-diam
seekor cicak menggoyangkan isyarat purba
menyerahkan seikat bayang kemasgulan
memadati permukaan cermin. ruang
tempat terbaringnya waktu
Secangkir Kopi Pagi
secangkir kopi pagi sangat dirindu-rindukan
tempat persinggahan renungan
aromanya yang wangi menangkap
helai-helai daun mengering di udara
mengisi permukaan ruang
menjelma menjadi serdadu perang
membaca luas titik bidang
di atas meja
"sumur waktu" sepotong bisik
sambil menyerahkan daftar tutur kata
biarkan kekalahan menghitung kegagalannya
ketika seseorang bersimpuh
di tengah vas bunga raksasa
dengan menunjukkan beberapa luka tangan
"Luka segera mengering saudara,
setiakan memakmurkan tempat sujud kita!"
Ketika Senja
tanpa rintik rembulan pun bergegas
mabuk suara
anggur senja sudah disedia
erat gelas yang ditawarkan. aku mengambilnya
dan di pundak jendela sebuah agenda
gelas-gelas bergetar
suara yang mengaruskannya
terdapat gelas dalam kabut rembulan
setengah memucat mencatat wktu
memberi angin terhadap detak sayap
mempersiapkan tamasya kenikmatan
suara adzan menawarkan kendaraan
memasuki lorong paling sunyi dan gaduh
"Subhanallah. Alif Laam Miim!"
Gerimis Mayat
cakrawala melumat dirinya menjadi mayat
mengintai dan memucat
menjadi segerombolan ulat membelanjakan
mimpi-mimpi memakmurkan luas negeri
dalam gerimis hutan gemuruh kota
spanduk meminjam pesta rakyat
ketika memanjati menara dalam sebuah jubah
daun-daun peradaban menerima kabut
di dalamnya halte-halte
ruang tunggu yang menyerah
sebagai kalimat harap letih kecemasan