“Damm ! pusing sekali,” aku berjalan sedikit terhuyung
sambil memegangi keningku. Sepertinya ada benda seperti mikcropon hidup
di dalam otakku, ya seperti radar. Dan
itu seperti mengudak isi otakku, dan aku tidak tahu apa ini penyakit
atau apa. Aku mendengar suara-suara berisik di sana-sini. Seperti volume yang diputar-putar ke level tertinggi.
“Kamu gak apa-apa, Dit ?" tanya Rahman
kepadaku. Wajahnya cemas menatapku.
“Gak apa-apa,”
jawabku ngeles. Aku lalu tersenyum, dan mencoba berdiri memperbaiki langkahku dan aku sudah berjalan dengan
tegak, menuju ke ruang pespus.
“Ya udah, aku
ke anak-anak nongkrong ?” kata Rahman lalu kami berpisah di koridor.
“Ntar aku nyusul,” seruku sambil mengacungkan majalah music yag
aku pinjam di perpus ke arah Rahman yang hanya tersenyum menuju ke ruang basket.
Ada apa dengan otakku. Kenapa dua hari
ini aku sering merasakan suara
berdenging. Sering aku mendengar suara sepeti orang berkata-kata di telingaku.
Tapi aku tidak yakin dengan pikiranku. Yah, aku seperti dapat mendengar suara hati orang.
Ah, tapi itu terlalu gendeng kalau aku menyakini hal itu. Mungkin memang
karena telingaku sedang tidak beres gara-gara keseringan ngebuk drum dan main di studio music.
“Mana bu Yani ?” kataku ketus ketika masuk ke ruang perpus.
Dan di ruang itu sepi, hanya ada gadis jelek dan kampungan itu yang duduk di
kursi perpus, membaca buku novel. “ aku ini mau cepetan tau ! teman-teman aku udah nunggu di ruang basket
!” seruku sambil melotot ke arah Nadia.
Nadia budek atau apa ? dia hanya menatapku
sebentar lalu melengos dan kembali menekuni bukunya.
Damm ! aku lalu menyeret punggung kursi dan
duduk di depan Nadia. “Kamu tuli, ya ?!”
“Aku punya nama , Bego !” Nadia melotot
dengan berani. Dia mengimbangi suaraku.
Aku menghela nafas panjang. Buku music ku
letakkan di meja, dan aku mencoba tenang,
kali ini aku tidak semangat perang sama Nadia. “OKe, Nadiaa, mana Bu Yani
?” aku menurunkan nada suara, tapi masih
terdengar kayak orang ngebentak.
“Dia
ke toilet ! tunggu aja ntar balik
ke sini !” kata Nadia cuek, dan dia
kembali khidmat dengan bukunya.
Aku hanya mendengus. Aku merasa sial aja, di
perpus Cuma ama dia aja, gak ada teman yang bisa aku ajak ngobrol (emang nadia
bukan temanmu , hah ?) kata suara dari dalam hatiku. Teman, sih, tapi bukan
teman kayak dia, dia itu bukan levelku, orangnya terlalu aneh, galak, gak bisa
diajak becanda, terlalu serius, gak popular, terlalu pendiam, dingin, gak kayak
cewek yang biasa mudah aku goda. Pokoknya mending aku sabar aja, nunggu petugas perpus
ke sini. Sudah lima menit, dan aku kipas-kipas majalah HAI karena ruangan
ber-ac itu mendadak panas. Dan damm ! aku menekan dahiku. kepalaku tiba-tiba seperti
tersengat sesuatu, dan aku merasakan serangan sakit di telingaku. Seperti ada
yang berbisik-bisik di telingaku.
“Orang-orang di sekolah ini
semua menyebalkan, dah parah banget. My God , Aku gak semangat lagi sekolah di sini, inginnya tidur
aja, lihat wajahnya aja sudah bikin aku ngantuk, apalagi yang namanya Adit dah
udah bikin badmood, gak ada
ramah-ramahnya dia. Membayangkan aja udah bikin aku muak, apalagi kalau udah bertemu, ditambah
lagi kalau udah bicara..dan ngobrol.
Mending diam aja..dan udahlah semua jadi patung. Aku jadi patung juga buat
mereka. jadi lah sepi lah ini gedung. (lalu bagaimana aku ngatasi ini, pindah
sekolah..? mana mungkin diperbolehkan
bapak, atau drop out sekolah aja, gila
apa ? gimana aku bilang sama kakak, dan
ijazah sma bisa-bisa melayang..dan kalau
almarhumah nyokap masih ada pasti dia membentakku..iya lah nyak maafin aku..nanti
aku pikirkan lagi caranya.”
Aku menegakkan kepalaku. Aku menoleh ke kanan kiri,
gak ada siapa-siapa. Tapi suara itu terdengar sangat jelas. Dan di ruangan ini Cuma
ada Nadia dan aku. Apakah tadi tu Nadia yang bicara, tapi mulutnya tidak
bergerak. Apakah itu suara hati Nadia.
“Sedih, kalau di rumah udah kayak di tempat apa gitu huhuhu, bingung mau ngapain..apalagi kalau ada yang
ngomel-ngomel, semua disalahin, gak ada yang sabar, semua main emosi, aduh bad mood banget. aku benci banget suasana
kayak gitu..jadi teringat masa kecil yang suram. lalu gimana caranya, ngekos ?
kontrakan ? bikin rumah sendiri ? aha..duit dari mana gitu..? aduh..pusing
kalau gitu…huhu ..baru kali ni aku merasa jadi orang aneh , baca novel tapi
pikiran kemana-mana .”
“Hei, Nadia kamu tadi barusan
bicara apa ? kamu tadi bicara kan ?” tanyaku gusar. Aku berharap Nadia itu bilang
iya, soalnya biar aku merasa waras.
Nadia menoleh dan menatapku
dengan heran. Alisnya yang tipis dan lentik melengkung ke bawah. “Nggak bicara
apa-apa,” Nadia mengangkat bahu lalu
kembali menekuni bukunya. Kali ini dia nampak berpikir kalau aku pasti tolol
dan sedang berusaha merayunya.
Jiah,..lebih baik aku diam saja kalau begini. dan berharap suara itu segera
lenyap dan hanya angin lewat saja. Aku ingin petugas perpus itu segera datang, lalu kabur
dari tempat ini.
Jam kembali berdetak di dinding dan aku kembali mendengar suara itu.
Sekarang pertanyaannya,
seperti petunjuk dalam buku hidup semangat,
aku harus menghindari atau pergi dari tempat bad mood itu, tapi aku tidak bisa
pergi, gimana ya caranya aku sembunyi atau sekedar lari dari mereka..mereka dan
masalah selalu ngintil dari depan, belakang dan atasku..huah..tolong aku..???!!
belum ada solusi…huff..dan cita –cita, impian apa itu ?aku udah lupa apa itu
cita-cita dan impian, baru aja aku
memutuskan kemarin aku berhenti bercita-cita. Aku stop, aku putus
asa..(huhaaah)..
Aku mendelik ke arah wajah Nadia. Nadia
sedang membolak-balik halaman buku, tapi sepertinya dia kayak orang emosi.
oh ya
bukankah di sekolah ada ruang sendiri. di situ aku bisa sembunyi dan melakukan
aktifitas dan juga tidak peduli dengan mereka. Aku sudah bingung caranya
ngerubah mereka.”
“Nadia
?!” aku sudah gak kuat. Kepalaku seperti
berdengung-dengung penuh oleh suara-suara Nadia. “Kamu sedang dalam masalah, ya
?” tanyaku menyeret kursiku mendekat ke arah depannya. Aku tak peduli
hubunganku dengan dia yagn gak pernah akrab.
“Gak
?” Sergah cewek kurus berambut kucir
itu. Nadia merasa jengah, dan dia
berdiri.
“Tunggu !” Aku mencekal tangan kanan
Nadia. Yang mencoba keluar dari kursi. Aku ingin bicara pada Nadia. Tapi pada
saat itu Bu Yani masuk ke ruangan itu bersama dua siswa kelas ipa, dan mereka
menatap kami dengan curiga.
Agrr. Mereka pasti mengira kami ada
apa-apa. Uhh, lalu aku melepas tangan kanan Nadia. Nadia buru-buru pergi dari
ruangan itu dan ninggalin aku sendirian.
Aku tercenung dari ruangan perpus itu. Alih-alih
mau ngejar Nadia tapi gak jadi. Buat apa juga ngobrol ama cewek itu, nanti apa kata dunia. Setelah dari
perpus aku ke ruangan basket dan nemuin Rahman dan Agus yang dah berkali-kali ngebel
aku.
“Lama
amat Dit ?, hampir aja posisimu diganti Samuel !”
“Ada masalah dikit di perpus, tapi
tenang aja, sekarang udah gak ada !”
kataku sambil mesem dan merebut bola basket di tangan Agus. Aku senang kepalaku
yang seperti dibor pusingnya dah ilang, aku udah merasa normal, aku udah gak mendengar suara-suara itu lagi.
Dan aku berharap selama nya nggak akan mendengar suara itu lagi. Apalagi suara hati
Nadia atau siapapun.
“Nadia, Nadia..” aku tidak berhenti menyebut nama Nadia. Aku
merasa shock aja. Aku nggak nyangka, Nadia sudah nggak ada.
“Dit, pulang yuk ! mendung !” ujar Rahman sambil meneplak semut yang
menjalar di pahanya. Di pemakaman banyak semut merayapi tanah .
“ Kamu nangis pun gak akan bisa
ngehidupin Nadia !” tambah Agus sambil menjagklong tas sekolahnya.
Aku masih terisak. Aku nggak ingin
nangis. Sungguh nggak ingin terlihat seperti itu. Tapi aku gak habis pikir kenapa Nadia memilih memotong
nadinya demi untuk keluar dari masalahnya.
“Dit ! aku mulai muak sama kamu, Nadia
juga siapa kamu ! di sekolah gak ada yang peduli ama dia kenapa juga kamu kayak
orang stress aja ! memagn kematiannya itu bikin kita miris, tapi itu pilihannya
!” khotbah Agus yang mulai kalap, karena
aku nggak mau ninggalin pemakaman Nadia.
Aku mulai sadar diri siapa diriku. Aku
menatap Agus dan Rahman dan bangkit berdiri. Betul kata Agus, aku memang bukan siapa-siapa Nadia. Nadia juga benci
diriku. Aku kemarin mendengar suara hati
Nadia yang terakhir, tapi aku menutup mata hatiku, aku tidak tergerak untuk membantu nya. Aku terlalu sombong untuk mau
menjadi temannya. Hati kami sudah beku oleh keadaan sekitar. Yang dipikirkan Cuma
gadget, teman satu level, geng sendiri dan juga kesenangan sendiri. Tak pernah
mengerti derita orang lain. Orang seperti Nadia memang tidak bisa merubah kami,
terlalu sulit merubah aku, seharusnya Nadia tidak pedulikan tingkah kami dan
aku yakin dia pasti lebih bahagia di sekolah ini kalau tidak memikirkan kami yang
sering memandang sinis dan sebelah mata padanya.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
cerpen ini terinspirasi lagu SUARA (berharap) oleh hijau daun