“Hui..Huiiiiiiiiiiiiuuu
!!” nampak Martono meniup seruling dari daun kelapa itu. Suara itu adalah
morse buat prajurit hujan yang lain. Martono memanjat batang pohon yang
sebesar pahanya. Gerakannya cepat dan lincah bagai kera. Rupanya dia sering
memanjat pohon, tidak sangsi lagi, ia jago naik pohon.
Yah. Mereka sedang main-main meskipun sudah jam delapan, dan tidak
dibilang pagi lagi. Anak-anak desa hujan itu masih belum masuk ke kelas.
Sekolah hujan terhampar di tengah ladang, dikelilingi padang ilalang yang luas,
dengan daun berwarna hijau kekuningan, di langit awan mendung bergulung,
pohon-pohon memanjang di pinggir dan di belakang sekolah, gerombol rumput dan
semak, membuat sekolah bercat kuning pucat yang nyaris roboh itu
menjadi lukisan alam yang hidup, dan indah.
Jarim dan rohim lebih dulu sampai ke tempat Martono. Nafas mereka
tersengal seperti serdadu bodoh yang baru dikejar musuh. Mereka memakai pakaian
lusuh, dan itu dinamakan seragam sekolah. Warna biru yang pudar. Tak lupa
mantel plastik bergantung di pundak mereka.
“Dimana Zahro sudah datang belum ?” kata Jarim sambil berkacak pinggang dan
menatap ke Martono di atas pohon. Kepalanya yang tanpa rambut, membuat dia
dikagumi oleh kelompoknya dan bagai bos gayanya. Lalu ia pun menggigit daging
kelapa yang disimpan di sakunya. Itu adalah makanan bekal sekolahnya. Lumayan
buat mengganjal perut yang pagi belum disi.
“Itu dia..?” Martono di atas batang pohon dan berbaring bagai ular itu
meneropong sosok perempuan kecil dengan jilbab. Perempuan kecil itu mendekati
mereka. langkahnya cepat. Zahro mengibaskan ilalang yang menghalangi jalannya.
Ia memakai tas buntut yang diselempangkan di dada. Kaki yang dibungkus
sepatu but dan juga payung bermotif bunga yang ditutup. Wajahnya tegas dan ia
terlihat anak yang cerdas.
“Buubuugguugunauuuug !” sapa Zahro. Ya, zahro gadis kecil yang bisu itu
seolah memberitahu. Martono melorot dari pohon langsing itu. Itu adalah
kegiatan favoritnya. Ia sudah bergabung dengan Jarim dan Rohim. Mereka bertiga
mencoba menterjemahkan setiap suku kata yang terbang dari mulut zahro.
“Apa ? mbah guru tidak datang ? dia sakit lagi kah ?” ujar si
paling gendut Rohim.
Zahro menggeleng. Lalu ia menunduk. Wajahnya seperti suasana gerimis
yang sering melanda kawasan desa mereka. lalu keempat anak itu menghela
nafas. Mengeluarkan kegundahan dan juga rasa yang mengganjal, dan
kerinduan sejak mbah guru tidak ada.
Mereka merindukan sosok itu. Sosok wanita tua, dan sangat pantas di
panggil nenek. Sosok dengan jilbab lebar dengan senyum menghias di gigi ompong,
dan wajah berkerutnya naik sepeda unta, yang selalu datang terlambat tapi
selalu dinanti itu. Sosok yang riang gembira dan bagai mereka adalah teman.
Lalu mereka terduduk lemas, di atas rerumputan basah, memandang langit
di atas sekolah hujan yang menghitam. semangat sekolah sudah terampas,
bagi mereka sekolah adalah mbah guru, dan meskipun di sekolah itu banyak guru
yang baik dan mumpuni, tapi di hati mereka tetap mbah guru lah yang selalu
memimpin dan menjadikan mereka mempunyai khayalan. Ilusi-ilusi kalau masa depan
akan lebih baik. Dengan sekolah kamu akan dihormati. Dan lebih dari itu ada
segudang ilmu yang membuat kamu tidak menjadi culas tapi juga berbudi. Angan
mereka membumbung bagai asap cerobong yang dihembus angin ladang. Angan
tentang mbah guru. Lima bulan yang lalu, mereka tidak kenal mbah guru.
Saat pelajaran Bu Nanik, itulah sosok tua itu muncul. Mengganti Bu
Nanik yang katanya sedang ikut pelatihan kurikulum di kota selama seminggu.
Memang sosok mbah guru tidak sering tampil di sekolah hujan. Dia seolah
tersembunyi. Bagai lukisan usang di gudang. Dan bahkan Martono mengira mbah
guru itu hanya seorang pesuruh. Nyatanya dia seorang guru. Guru yang sudah lama
sekali.
Dia betul-betul sosok yang berbeda. Gayanya yang lugu dan
sangat suka tertawa. Mbah guru mengenalkan bahasa indonesia lewat cerita-cerita
dongeng. Betapa seluruh guru muda heran, dimana kelas yang biasanya ramai
mendadak sunyi senyap seperti kuburan. Dimana murid-murid pergi, ternyata mereka
sedang asyik mendengarkan kisah mbah guru, tentang perahu pembangkang nabi nuh
yang karam, tentang nabi musa yang hebat, semua anak seperti tersihir dan juga
tergelak oleh dongeng kancil yang cerdik. Bahkan empat anak yang istimewa di
kelas hujan. Spesial dalam arti minoritas itu. Zahro yang bisu mendadak tidak
merengut di sekolah itu, ia bisa tertawa dalam suaranya yang aneh,
Martono yang bandel jadi penurut, jarim yang sombong jadi suka membela
teman yang lemah dan Rohim yang penakut menjadi bisa lepas dari tasnya. Siapa
yang tidak mencengangkan. Selama empat tahun rohim belajar di bawah meja
ataupun selalu kepalanya ditutupi tas. Yach, ia takut sekolah. Ia takut guru.
Tapi semenjak mbah guru datang mengajaknya ngobrol dan mengejarnya waktu
lari sembunyi ke luar kelas, ia menjadi rohim yang baru. Betapa anak-anak
di sekolah hujan tidak bisa melupakan peristiwa itu. mereka melihat keributan
itu, bagaimana mbah guru lari dengan rok lebarnya ia memanjat tembok setinggi
satu meter demi untuk mengejar rohim.
Lalu pelajaran berhitung dengan mengejar belalang di
semak-semak adalah favorit anak kelas hujan. Mereka betapa riangnya berlari,
tergopoh-gopoh, berteriak-teriak, berlomba, lalu menghitung belalang itu yang
dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kadang-kadang wajah mereka nampak berbalur
tanah becek, berebutan belalang dan baju mereka kotor, dan semua anak wajib
menertawakan keadaan mereka sendiri waktu itu. Dan mereka merasa itulah wisata
bermain yang tidak akan mereka lupakan.
“Kalian tahu ksatria pandawa, mereka hebat karena digodok dan
ditempa berbagai cobaan, dan kalian tahu sekolah di daerah hujan tidaklah
mudah. Karena itu hanya sedikit yang bertahan di sini, setiap pagi sampai
siang di sini hujan. Bahkan banjir sudah menjadi bayangan yang nyata. Karena
itu ibu namakan kalian itu prajurit hujan. Seorang prajurit tidak gampang
menyerah bukan, kalian ke sini naik perahu atau menyusuri jembatan sungai,
bisa-bisa juga berlari dalam kejibak hujan, kedinginan, tapi pasti ada cara
mengatasi itu. Yang penting kalian mau sekolah bukan ?”
Semua anak saling pandang. Mereka senang dengan sebutan itu. Yach
mereka adalah prajurit. Prajurit hujan. Angan mereka tiba-tiba terhempas ketika
mereka mendengar denting lonceng masuk sekolah dibunyikan, hujan mengguyur
kepala rohim, Jarim, martono dan Zahro. Mereka enggan beranjak dari tempat itu,
meskipun tetes hujan membuat kulit mereka dingin menggigil. Mereka mendengar
Pak Anwar memanggil nama mereka. Pak Anwar dengan kaki agak pincang,
terlihat menghampri empat anak itu lalu dia diam membatu dengan pandangan
tidak mengerti. Payung hitam lebar yang digenggamnya menunjukkan wajah
bijaknya.
“Kalian harus masuk ke kelas ?”
Rohim, Jarim, Martono, zahro tetap membeku. Air hujan mengaliri
wajah mereka. dan mereka tidak berusaha menghapusnya. Mereka merasa masih
prajurit hujan. Dan tidak gampang menyerah oleh hujan.
“Meskipun tidak ada mbah guru, kalian harus tetap masuk ke kelas,
sekarang !” tegas pak anwar.
Suara pak anwar mengalahkan halilintar. Membuat anak itu bergidik
lalu seperti anak yang sudah lemah, anak itu mengekor di belakang pak anwar.
Mereka masuk ke kelas dan di kelas teman mereka sudah menanti. Pak anwar
menjelaskan alasan mbah guru tidak ada di sekolah hujan akhir ini.
“Mbah guru sebenarnya tidak sakit, ia mengalami kepikunan, ia
sudah tua, dan seharusnya orang setua dia tidak bekerja,” kata pak anwar
dengan suara kharismatiknya. Seisi kelas sedakep di meja dan menatap pak anwar tak
berkedip.
“Tapi kemarin dia bisa bekerja, kenapa dia tidak boleh bekerja ?”
tanya Martono. Ia merasa ada ketidakadilan di sekolah hujan. Atau di dunia ini
ada yang telah berbuat tak adil pada mbah guru, dan ia tak rela.
“Ehm, sebenarnya oleh pemerintah mbah guru tidak boleh kerja, usianya sudah
mencapai pensiun, tapi karena ini sekolah swasta dan karena kebutuhan ekonomi
dia harus tetap mencari uang, tapi akhir ini ia mengalami musibah, bahkan
dia tidak tahu hari dan selalu bicaranya diulang-ulang,”
Rohim, martono, jarim, Zahro dan prajurit hujan yang lain mulutnya
ternganga. Penjelasan pak anwar seperti tidak bisa diterimanya, atau saat itu
mereka tidak bisa menangkapnya. Bagi mereka, mereka harus bertemu mbah guru.
Dan pak anwar bersedia mengantarkan prajurit hujan mengunjungi guru tua itu.
Para murid bersorak gembira.
“Tunggu dulu, kalian jangan gembira dulu, kalian harus memberikan sesuatu
untuk mbah guru, Rohim katanya kamu ingin mempersembahkan tulisan yang pernah
mbah guru berikan yang sudah kamu hafal, boleh kami mendengarnya..”
Rohim tersenyum. Meski nampak ragu dia maju ke depan. Anak yang
paling penakut itu kini bisa dengan langkah panjang maju di depan kelas. Ia
mengambil kertas secuil dari saku bajunya. Anak-anak tergelak sejenak oleh
gayanya yang jenaka. Yah, ternyata meskipun ia sudah berusaha menghafal
kata-kata yang diberikan mbah guru, ia masih belum juga hafal. Lalu ia
membacakan tulisan itu. Dan tulisan yang dibaca Rohim itu membuat pak anwar
trenyuh, dan ia berusaha menyembunyikan matanya yang semerbak memerah karena
ingin menangis.
Hatiku...jujurlah...
Kalau engkau
tak sanggup menjadi cemara yang kokoh di puncak bukit ... jadilah saja belukar
yang teguh di tepi jurang... Belukar itu senantiasa istiqomah dalam
perjuangannya untuk hidup. Ia belajar dari kesehariannya untuk
mendewasakan batangnya, batangnya yang menyanggahnya untuk tidak masuk ke
dalam jurang... Hatiku...ketahuilah!!! Ternyata untuk menjadi
belukar saja itu tidak mudah!!! Belukar harus ikhlas agar ia tak iri pada
cemara... Belukar harus tawadhu agar ia tak sombong pada rumput...
Belukar tetap belukar sampai ia bisa berjumpa dengan Penciptanya... Kalau
engkau tak sanggup jadi belukar...jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
senantiasa memperkuat pinggiran jalan... Kalau engkau tak sanggup menjadi
langit...jadilah saja bumi, tetapi bumi yang setia dan ikhlas untuk
dipijaki oleh setiap manusia. Tidak semua insan sanggup berbuat seperti
pengemis yang tawadhu',... izzahnya tinggi walau orang lain merendahkannya...
karena ia mempunyai HATI sehingga dekat dengan sang Robbi... --------
TAMAT
Sumber tulisan hatiku
jujurlah dari=dadung .net
(PKT)
tag
kumpulan cerpen motivasi judul prajurit hujan
kumpulan cerpen pendidikan judul prajurit hujan
kumpulan cerpen online judul prajurit hujan