CERPEN 5M

hahaha

  • Home
  • Quote gua
  • CERPEN
  • DAFTAR ISI
  • OPINI
  • TENTANG BLOG
Home » Archive for 02/01/2014 - 03/01/2014

Saturday, 22 February 2014

SUARA HATI NADIA

cerpen remaja


“Damm !  pusing sekali,” aku berjalan sedikit terhuyung sambil memegangi  keningku.  Sepertinya ada benda seperti mikcropon hidup di dalam otakku, ya seperti radar. Dan  itu seperti mengudak isi otakku, dan aku tidak tahu apa ini penyakit atau apa. Aku mendengar suara-suara berisik di sana-sini. Seperti  volume yang diputar-putar ke level tertinggi.

 “Kamu gak apa-apa, Dit ?"  tanya Rahman kepadaku.  Wajahnya cemas menatapku.

“Gak apa-apa,” jawabku ngeles. Aku lalu tersenyum, dan mencoba berdiri memperbaiki  langkahku dan aku sudah berjalan dengan tegak, menuju ke ruang pespus.

“Ya udah, aku ke anak-anak nongkrong ?”  kata  Rahman lalu kami berpisah di koridor.

 “Ntar aku nyusul,”  seruku sambil mengacungkan majalah music yag aku pinjam di perpus ke arah Rahman yang hanya tersenyum menuju ke ruang basket.

  Ada apa dengan otakku. Kenapa dua hari ini  aku sering merasakan suara berdenging. Sering aku mendengar suara sepeti orang berkata-kata di telingaku. Tapi aku tidak yakin dengan pikiranku. Yah,  aku seperti dapat mendengar suara hati orang. Ah, tapi itu terlalu gendeng kalau aku menyakini hal itu. Mungkin memang karena  telingaku sedang  tidak beres gara-gara keseringan  ngebuk drum dan main di studio music.

    “Mana bu Yani ?”  kataku ketus ketika masuk ke ruang perpus. Dan di ruang itu sepi, hanya ada gadis jelek dan kampungan itu yang duduk di kursi perpus, membaca buku novel. “ aku ini mau cepetan tau !  teman-teman aku udah nunggu di ruang basket !”  seruku sambil melotot ke arah Nadia.  
     Nadia budek atau apa ? dia hanya menatapku sebentar lalu melengos dan kembali menekuni bukunya.
    Damm ! aku lalu menyeret punggung kursi dan duduk di depan Nadia. “Kamu  tuli, ya ?!”

    “Aku punya nama , Bego !”  Nadia melotot  dengan berani. Dia mengimbangi suaraku.

     Aku menghela nafas panjang. Buku music ku letakkan di meja, dan aku mencoba tenang,  kali ini aku  tidak semangat  perang sama Nadia. “OKe, Nadiaa, mana Bu Yani ?” aku  menurunkan nada suara, tapi masih terdengar kayak orang ngebentak.

    “Dia  ke toilet ! tunggu aja ntar  balik ke sini !”  kata Nadia cuek, dan dia kembali khidmat dengan bukunya.
  
   Aku hanya mendengus. Aku merasa sial aja, di perpus Cuma ama dia aja, gak ada teman yang bisa aku ajak ngobrol (emang nadia bukan temanmu , hah ?) kata suara dari dalam hatiku. Teman, sih, tapi bukan teman kayak dia, dia itu bukan levelku, orangnya terlalu aneh, galak, gak bisa diajak becanda, terlalu serius, gak popular, terlalu pendiam, dingin, gak kayak cewek   yang biasa mudah aku goda. Pokoknya  mending aku sabar aja, nunggu petugas perpus ke sini. Sudah lima menit, dan aku kipas-kipas majalah HAI karena ruangan ber-ac itu mendadak panas. Dan damm ! aku menekan dahiku. kepalaku tiba-tiba seperti tersengat sesuatu, dan aku merasakan serangan sakit di telingaku. Seperti ada yang berbisik-bisik di telingaku.
  

“Orang-orang di sekolah ini semua menyebalkan,  dah  parah banget. My God , Aku gak  semangat lagi sekolah di sini, inginnya tidur aja, lihat wajahnya aja sudah bikin aku ngantuk, apalagi yang namanya Adit dah udah bikin  badmood, gak ada ramah-ramahnya dia. Membayangkan aja udah bikin aku muak,  apalagi kalau udah bertemu, ditambah lagi  kalau udah bicara..dan ngobrol. Mending diam aja..dan udahlah semua jadi patung. Aku jadi patung juga buat mereka. jadi lah sepi lah ini gedung. (lalu bagaimana aku ngatasi ini, pindah sekolah..? mana mungkin  diperbolehkan bapak, atau drop out sekolah aja,  gila apa  ? gimana aku bilang sama kakak, dan ijazah sma bisa-bisa melayang..dan kalau  almarhumah nyokap masih ada pasti dia  membentakku..iya lah nyak maafin aku..nanti aku pikirkan lagi caranya.”

Aku menegakkan kepalaku. Aku menoleh ke kanan kiri, gak ada siapa-siapa. Tapi suara itu terdengar sangat jelas. Dan di ruangan ini Cuma ada Nadia dan aku. Apakah tadi tu Nadia yang bicara, tapi mulutnya tidak bergerak. Apakah itu suara hati Nadia.

“Sedih, kalau di rumah  udah kayak di tempat apa gitu huhuhu,  bingung mau ngapain..apalagi kalau ada yang ngomel-ngomel, semua disalahin, gak ada yang sabar, semua main emosi,  aduh bad mood banget. aku benci banget suasana kayak gitu..jadi teringat masa kecil yang suram. lalu gimana caranya, ngekos ? kontrakan ? bikin rumah sendiri ? aha..duit dari mana gitu..? aduh..pusing kalau gitu…huhu ..baru kali ni aku merasa jadi orang aneh , baca novel tapi pikiran kemana-mana .”

 “Hei, Nadia kamu tadi barusan bicara apa  ? kamu tadi bicara kan ?”  tanyaku gusar. Aku berharap Nadia itu bilang iya, soalnya biar aku merasa waras.

  Nadia menoleh dan menatapku dengan heran. Alisnya yang tipis dan lentik melengkung ke bawah. “Nggak bicara apa-apa,”  Nadia mengangkat bahu lalu kembali menekuni bukunya. Kali ini dia nampak berpikir kalau aku pasti tolol dan  sedang berusaha merayunya. Jiah,..lebih baik aku diam saja kalau begini. dan berharap suara itu segera lenyap dan hanya angin lewat saja. Aku ingin  petugas perpus itu segera datang, lalu kabur dari tempat ini.

Jam kembali berdetak di dinding dan aku kembali mendengar suara itu.
Sekarang pertanyaannya, seperti petunjuk dalam buku  hidup semangat, aku harus menghindari atau pergi dari tempat bad mood itu, tapi aku tidak bisa pergi, gimana ya caranya aku sembunyi atau sekedar lari dari mereka..mereka dan masalah selalu ngintil dari depan, belakang dan atasku..huah..tolong aku..???!! belum ada solusi…huff..dan cita –cita, impian apa itu ?aku udah lupa apa itu cita-cita dan impian,  baru aja aku memutuskan kemarin aku berhenti bercita-cita. Aku stop, aku putus asa..(huhaaah)..

          Aku mendelik ke arah wajah Nadia. Nadia sedang membolak-balik halaman buku, tapi sepertinya dia kayak orang emosi.

        oh ya bukankah di sekolah ada ruang sendiri. di situ aku bisa sembunyi dan melakukan aktifitas dan juga tidak peduli dengan mereka. Aku sudah bingung caranya ngerubah mereka.”

     “Nadia ?!”  aku sudah gak kuat. Kepalaku seperti berdengung-dengung penuh oleh suara-suara Nadia. “Kamu sedang dalam masalah, ya ?” tanyaku menyeret kursiku mendekat ke arah depannya. Aku tak peduli hubunganku dengan dia yagn gak pernah akrab.

      “Gak ?”  Sergah cewek kurus berambut kucir itu.  Nadia merasa jengah, dan dia berdiri.
      
      “Tunggu !” Aku mencekal tangan kanan Nadia. Yang mencoba keluar dari kursi. Aku ingin bicara pada Nadia. Tapi pada saat itu Bu Yani masuk ke ruangan itu bersama dua siswa kelas ipa, dan mereka menatap kami dengan curiga.
       
      Agrr. Mereka pasti mengira kami ada apa-apa. Uhh, lalu aku melepas tangan kanan Nadia. Nadia buru-buru pergi dari ruangan itu dan ninggalin aku sendirian.
      Aku tercenung dari ruangan perpus itu. Alih-alih mau ngejar Nadia tapi gak jadi. Buat apa juga ngobrol ama  cewek itu, nanti apa kata dunia. Setelah dari perpus aku ke ruangan basket dan nemuin  Rahman dan Agus yang dah berkali-kali ngebel aku.
         
         “Lama amat Dit ?, hampir aja posisimu diganti Samuel !”
         “Ada masalah dikit di perpus, tapi tenang aja, sekarang udah gak ada  !” kataku sambil mesem dan merebut bola basket di tangan Agus. Aku senang kepalaku yang seperti dibor pusingnya dah ilang, aku udah merasa normal,  aku udah gak mendengar suara-suara itu lagi. Dan aku berharap selama nya nggak akan mendengar suara itu lagi. Apalagi suara hati Nadia atau siapapun.

     “Nadia, Nadia..”  aku tidak berhenti menyebut nama Nadia. Aku merasa shock aja. Aku nggak nyangka, Nadia sudah nggak ada.
       
         “Dit, pulang yuk ! mendung !”  ujar Rahman sambil meneplak semut yang menjalar di pahanya. Di pemakaman banyak semut merayapi tanah .
       
        “ Kamu nangis pun gak akan bisa ngehidupin Nadia !”  tambah Agus sambil  menjagklong tas sekolahnya.
      
     Aku masih terisak. Aku nggak ingin nangis. Sungguh nggak ingin terlihat seperti itu. Tapi aku  gak habis pikir kenapa Nadia memilih memotong nadinya demi untuk keluar dari masalahnya.
  
       “Dit ! aku mulai muak sama kamu, Nadia juga siapa kamu ! di sekolah gak ada yang peduli ama dia kenapa juga kamu kayak orang stress aja ! memagn kematiannya itu bikin kita miris, tapi itu pilihannya !”  khotbah Agus yang mulai kalap, karena aku nggak mau ninggalin pemakaman Nadia.
  
       Aku mulai sadar diri siapa diriku. Aku menatap Agus dan Rahman dan bangkit berdiri. Betul kata Agus, aku memang  bukan siapa-siapa Nadia. Nadia juga benci diriku. Aku  kemarin mendengar suara hati Nadia yang terakhir, tapi aku menutup mata hatiku, aku tidak tergerak untuk  membantu nya. Aku terlalu sombong untuk mau menjadi temannya. Hati kami sudah beku oleh keadaan sekitar. Yang dipikirkan Cuma gadget, teman satu level, geng sendiri  dan juga kesenangan sendiri. Tak pernah mengerti derita orang lain. Orang seperti Nadia memang tidak bisa merubah kami, terlalu sulit merubah aku, seharusnya Nadia tidak pedulikan tingkah kami dan aku yakin dia pasti lebih bahagia di sekolah ini kalau tidak memikirkan kami yang sering memandang sinis dan sebelah mata  padanya.



>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
cerpen ini terinspirasi lagu SUARA (berharap)  oleh hijau daun

Wednesday, 19 February 2014

BONEKA UNTUK FITRI

   


   Namaku  Yoyi...aku boneka ulang tahun yang jelek. Dan aku tidak terkenal. Tidak seperti teddy atau pooh, entahlah. Aku teronggok begitu saja di gudang mainan. Tepatnya aku ini barang bekas. Dan kakiku sudah buntung. Dulu, aku memiliki Viana, seorang yang mengambilku di toko mainan, ketika dia ulangtahun. Tapi beberapa tahun kemudian, dia membuangku. Yah, karena dia memiliki barang yang baru . Yang lebih bagus.

   Aku hanya bisa menangis. Di tempat gelap itu. Aku sendiri. Aku berjalan terseok- seok dan hanya menatap ke jendela luar yang kusam. Kadang-kadang aku hanya berbicara sendiri dengan rintik hujan. Kenapa nasibku seperti ini. Aku hanya diejek oleh tikus-tikus dan juga kadal yang menghuni rumah gudang itu.

  “Mati saja kau,..tidak ada gunanya kau hidup, mandang kamu saja, buat kami sumpek di sini,” kata tikus sambil terkekeh dan seolah mengusir aku.

    Aku menudukkan wajahku. Aku beringsut masuk ke lemari tempatku. Lemari tua dan patah kakinya. Lemari miring itu adalah tempat tinggalku. Kaca yang retak adalah temanku.
      
    Aku hanya bisa menangis.
     
   Minggu itu. Aku terkejut. Ada yang membuka pintu gudang itu. Tikus-tikus lari ketakutan. Mereka sembunyi di lobang-lobang. Sementara itu, aku melihat anak kecil laki-laki memakai topi pet. Baju anak itu lusuh dan beberapa ada yang sobek. Anak itu menatap ke lemari dan aku tercengang. Anak itu menatap ke arahku. Ia lalu tersenyum. Anak itu menghampiri lemari itu. Aku tidak bisa lari. Anak itu mengulurkan tangannya dan mencengkeramkanku.
        
     “Tidak disangka, aku menemukan boneka bagus untuk Fitri,” guman anak itu.
      
    Sejam kemudian. Aku tidak tahu yang terjadi dengan diriku. Yang aku tahu, aku sudah berada di sebuah rumah yang dipenuhi banyak anak-anak. Anak kecil penghuni panti asuhan menyambutku dengan riang.
     
     "Selamat ulang tahun fitri,” ujar Gomes. Anak laki-laki itu mengulurkanku untuk Fitri.
     
    Fitri sangat ceria. Dia nampak takjub melihatku. Yah. Aku boneka ulang tahun yang lecek dan sudah dibuang ini ternyata membuat  fitri amat berharga.

     Fitri memeluk Gomes dan mengucapkan teirmkasih. Ia sangat senang dengan hadiah itu.
  
  "Ah,itu hanya boneka yang kutemukan digudang sebelah, tak perlu kau begitu, aku tak bisa memberimu barang bagus untuk ulang tahunmu,”
   “Tidak apa-apa Gomes, apapun pemberianmu aku suka, aku suka,” teriak Fitri. Ia memutar tanganku. Ia berjingkrak-jingkrak dan mengajak teman-temannya bermain. Aku juga diajaknya bermain. Teirmakasih Tuhan. Sepertinya aku tidak sedih lagi. Aku ini meskipun seperti ini ternyata membuat bahagia seorang anak seperti Fitri.


sumber gambar : www.agatanarita.wordpress.com



ANAK GILA

Semula aku mengira kadir itu orang gila. Habis wajah dan penampilannya bloon banget sih. Tapi ternyata kadir anak malang yang dilahirkan cacat mental. Kata nenek, tingkahnya memang seperti anak kecil. Suka menjulurkan lidah dan tiba-tiba terkekeh sendiri.

Waktu aku hendak mengeposkan surat pada mama. Aku mengabarkan kalau seminggu lagi liburanku habis dan minta dijemput di stasiun gambir.
Tiba-tiba kantor pos kecamatan yang kecil itu menjadi sedikit ribut. Kadir terkekeh-kekeh dan berusaha menirukan kegiatan pengunjung kantor pos. Dia ikut-ikutan mengelem perangko  dan amplop. Kadir sempat dibentak seorang ibu yang putrinya menangis ketakutan. Padahal waktu itu kadir tidak sedang apa-apa. Dia cuma terkekeh.


cerpenanak.com

Dengan takut-takut aku meminta  lem  yang tadi dipegang kadir. Tak seperti kekekawatiranku, ternyata kadir tidak mengamuk. Bahkan dia santun sekali memberikan lem itu padaku. Setelah mengelem perangko dan menunggu antrian, aku melihat tingkah kadir lewat ujung mataku.
Anak berambut keriting dengan pakaian sedikit kumal itu sibuk mengaduk-aduk lem. Setelah bosan dia memandang potret barisan anak sekolah yang tak jauh darinya. Kadir terkekeh, mengusap potret itu, berusaha mencopotnya, lalu dengan susah payah mencoba memasangnya. Kadir terkekeh-kekeh lagi ketika berhasil memasang. Aku tersenyum melihat tingkah kadir. 


Ketika seorang petugas kantor pos keluar dari tempat kerjanya, kadir tiba-tiba mencegat dan mengangkat tangan kanannya sambil memukul-mukul pergelangannya. Petugas kantor pos memberinya sekeping recehan, tetapi kadir menampik.
 “Tidak mau ya sudah.”  Kata petugas itu.
Kadir terkekeh lagi. 


Tiba-tiba mataku melotot. Kadir masuk ke tempat parkir dan kulihat dia mencoba menaiki sepeda federal baruku. Setelah meneyrahkan surat kepada petugas kantor pos aku buru-buru berlari keluar dan merebut sepedaku dari tangan kadir. Aku tidak ingin sepeda baru hadiah dari nenek dikotori air liurnya.
Segera kunaiki sepedaku dan melarikannya jauh-jauh dari wajah kadir yang kulihat saat itu sangat murung.



Wajahku pucat. Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi kartu atm mbak sinta tidak kutemukan. Aku sudah mulai panik. Air mata menggenang di pelupuk mata. Nenek dengan lembut mengusap punggung tanganku. “kamu kemarin kemana saja ? Mungkin kartu atm itu jatuh waktu kamu pergi ke kantor pos.”

“oh, iya nek !” Aku buru-buru keluar rumah.
Kutelusuri jalan menuju kantor pos. Pandanganku menunduk. Siapa tahu kartu atm itu kutemukan di jalan.
Sudah lewat satu hari. Kalau ada yang mengambilnya , dan misalnya orang itu jahat, oh seluruh tabungan mbak sinta sebagai penyiar pasti hilang. Aku panik sekali.


Sampai di halaman kantor pos kartu itu belum juga kutemukan. Kutanyakan  pada petugas di sana, tetapi mereka tidak tahu.
Aku keluar dengan tubuh lemas. Aku siap dihukum mbak sinta. Aku pantas dihajar mbak sinta, aku pantas....tiba-tiba aku meloncat. Sepedaku dipegang-pegang kadir !

Rasa kesal bercampur panik membuatku melayangkan pukulan pada kadir. Anak itu jatuh terguling. Kadir meringis. Lututnya luka. Lalu dengan berdiri sempoyongan kadir menyerahkan kartu atm padaku.
Aku terpaku. Aku telah salah  sangka.

Kadir, si bloon itu ternyata orang yang baik dan jujur. Dia telah menyelamatkanku. Aku tersadar ketika kadir sudah tidak ada di depanku. Terburu-buru aku mengayuh sepeda mengejar kadir yang berjalan terseok-seok.

“hai, siapa namamu ? Aku yuda, terima kasih ya.” 
Tapi kadir berjalan terus sambil terkekeh-kekeh. Aku mencoba memberinya uang tetapi dia tidak mau. Ketika aku berhasil menghentikan langkahnya, kadir memegang –megang sepedaku. Aku membiarkannya. Aku ingin membuatnya bahagia. Aku merasa sangat bersalah.
Lalu aku bonceng kadir dan kuajak keliling kota. Aku lihat dia sangat senang. Aku selalu tertawa melihat tingkahnya


“Besok kita main lagi ya ?” Kataku ketika hari sudah sore.
Aku lihat kadir sangat sedih ketika diturunkan dari boncengan. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Hari sudah sore, pasti nenek cemas. Aku segera menggenjot sepedaku dan meninggalkan kadir begitu saja di jalan.

Tetapi besoknya aku harus berkemas-kemas karena liburan lusa sudah usai. Aku harus kembali ke jakarta. Aku lupamengatakan pada kadir. Tapi kupikir kadir pasti lupa. Lagipula aku malas kalau harus ke kantor pos yang  lumayan jauh itu. Sampai aku kembali  ke Jakarta dan aku tidak pernah bertemu kadir.



Siang sangat panas. Segelas jus apel langsung menyegarkan tenggorokanku.
“tuu, ada surat dari nenek,” kata mbak sinta.
Kulempar tubuhku di ranjang.  Kusobek amplop surat nenek. Aku termangu ketika membaca surat nenek.
Nenek bercerita tentang keadaan beliau yang sehat dan baik-baik saja. Juga tentang..kadir yang meninggal dunia. Kata orang, dia tertabrak kendaraan ketika berdiri di depan kantor pos. Sepertinya sedang menunggu . Tetapi tidak ada orang yang tahu dia menunggu siapa.


#2001#
Cerita ini dibuat saat penggunaan telepon seluler untuk komunikasi tidak menjamur seperti sekarang ini, dulu orang banyak berkomunikasi jarak jauh menggunakan surat.

Saturday, 8 February 2014

JANJI EMAK

cerpen janji emak

Bersinar kau bagai cahaya, beri ku penerangan. Kaulah ibuku, terimakasih ku takkan pernah  terhenti..
Kau bagai matahari...yang selalu bersinar..

                POV RIKI
                “Yang benar Mak ?!  jadi kalau aku besok juara satu , aku dibelikan baju seragam pramuka !” ujarku sambil mengerjap-ngerjap.
                Sekali lagi kutatap wajah Emak. Dia tersenyum-senyum padaku. Senyumnya sangat aneh dan seperti tidak serius.
                “Ya, pasti ! apakah Emak pernah mengingkari janji ?”
                “Belum pernah  Mak !” aku berseru. Aku gembira. Tentu saja. Selama ini aku hanya punya baju pramuka satu. Terasa tidak enak di badanku yang sedikit gendut.  Kalau seragam  baju putih merah, aku punya tiga. Itupun warisan dari kakakku. Kakakku itu selalu juara satu, dan hadiahnya selalu baju putih merah. 
                Lalu aku berlari, mengitari ruangan itu,  bermain naik pesawat. Kakakku Abdul ikut juga merusak ruang tamu itu. Emak  nampak  tidak pernah marah.

                POV  EMAK
                Aku  tersenyum, aku  tidak yakin Riki akan dapat rangking  satu. 

Riki paling malas belajar. Tidak mau belajar. Jadi tidak mungkin dia mendapatkan baju pramuka itu, jadi keuanganku masih bisa diandalkan sampai bulan depan. Aku  pikir baju Riki masih bisa bertahan sampai dia kelas enam SD. Hmm, kenapa sih hadiah untuk Abdul selalu baju putih merah, coba sekali bisa meminta  sama gurunya buat  ngasih hadiah yang lain.Batinku miris. 

                Senja  seperti biasa,  aku  selesai bekerja di dapur.
                Menghela nafas berkali-kali . Ruangan ini baru dibersihkan, Abdul dan Riki  itu selalu saja membuat angin ribut. Porak-poranda. Karena capek aku  tidak peduli dengan rumahku yang sudah seperti kapal pecah. Aku duduk di sofa buntut sambil kipas –kipas. Aku  melirik  kalender. Sudah Lima bulan aku bekerja menjadi guru swasta dan sudah sewajarnya aku mendapatkan bayaran. Biasalah tunjangan kesra itu adalah andalanku. Dengan uang itu aku bisa membeli beras dan perseiadaan sembako selama beberapa hari. Hmm, aku sungguh mengharapkan tunjangan itu segera dicairkan. Biasanya pemerintah selalu berbelit-belit. Biasalah birokrasi, meskipun syarat-syarat sudah lengkap masih saja uang belum turun-turun, padahal di dapur asap butuh mengepul. Sekali lagi aku hanya bisa menangis  batin.

                Pagi itu aku  segera mengambil sepeda buntutku bersiap ke tempat kerja  dan dua anak bandelku  itu mengintai. “Mak, katanya kalau gajian, aku dibelikan alat pancing kan Mak ?” kata Abdul.
                “Iya, iya pokoknya beres ,” Ujarku  dengan penuh percaya diri.

                POV  RIKI.
                “Mak, hari ini aku menagih janji Emak !” Ujarku, kupamerkan rapotku. Ya, aku dapat rangking satu. Seharusnya Emak gembira tapi dia tampak shock.
                “Masa sih, kamu juara satu, pasti gurumu salah beri nilai ,” ujar Emak sambil melotot meneliti nilai-nilaiku.
                Aku hanya merengut.  “Pokoknya seragam pramuka baru !”  tagihku."Mak, aku ingin memakai seragam baru, Mak !"

                “Iya, iya, tenang tunggu, hari ini Emak akan gajian,” kata-kata Emak itu menenangkanku.

                Lalu aku  memandang tubuh Emak mengayuh sepeda dengan seragam batik kebesarannya menuju tempat kerjanya, dan  menghilang dibalik rimbunan pohon perkampungan. Lalu aku menghabiskan hari menonton televisi dan bermain di pekarangan, tapi selebihnya aku menunggu kepulangan Emak.
                “Kak, ini sudah sore Emak  belum pulang ya ?”  celetukku di bangku halaman. Sudah sepuluh kali aku keluar rumah memandang ke jalan, kalau-kalau emak pulang aku akan menyambutnya dan emak pasti datang membawa seragam pramuka baru.
                Abdul hanya mengangguk. Perut kami berbunyi, tapi kami lebih menantikan hadiah-hadiah buat kami.

                POV EMAK.

                Sinar keperakan ungu  sudah menggantung di langit. Aku masih bolak balik di pasar itu. wajahku terlihat  ingin marah campur sedih. Tapi marah pada siapa.  Kenapa sih, tunjangan kesra tidak diberikan padaku. Namaku tidak tercantum dalam daftar penerima gaji. Apa-apaan ini, tahun kemarin aku selalu terima, kenapa sekarang aku tidak tercatut dalam daftar itu. Kenapa selalu ada kesenjangan antara guru swasta dan negeri. Bukankah kita sama-sama bekerja keras ! sama-sama mengabdi pada negara.  Tuhan, redakan emosiku, jangan sampai aku membakar pasar ini,  Oh Tuhan bagaimana aku bisa pulang dengan tangan kosong. Aku tidak bisa membayangkan wajah Abdul dan Riki waktu nanti aku pulang. Aku menjerit dalam hati.  

( Tamat.)




TAG
cerpen tentang perjuangan ibu, 
cerpen judul janji emak, 
CERPEN 5 M

DINGIN TAK TERCATAT



Dingin tak tercatat
Pada thermometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
Mengusir. Tapi kita tetap saja

Di sana, seakan-akan

Gerimis raib
Dan cahaya berenang

Mempemainkan warna

Tuhan, kenapa kita bisa
Bahagia !

1971

(Kumpulan “Pariksit”)

Tag
kumpulan puisi online
puisi karya goenawan mohammad
kumpulan puisi terkenal
puisi judul dingin tak tercatat

KABUT TURUN BERGUMPAL-GUMPAL DARI PUNCAK GUNUNG


kumpulan puisi terkenal

Sebatang cemara lurus menatap langit ke tempat dewa-dewa
Berada
Barangkali ada suatu permintaan seperti penghuni-penghuni gubuk di bawahnya
Kemudian dikirimkan berkeranjang-keranjang kabut,
Berikut air, wortel, kentang, pisang, kelapa, bunga, jeruk, mangga
Beserta cinta, penderitaan, impian, harapan, perhiasaan aneka warna
Yang sekarang barangkali sedang dimasak atau dibuat makan
Kakek-nenekku di seberangnya
Di negeri jauh, tak terduga oleh pikir dan rasa


karya oei sien tjwan
tag :
kumpulan puisi online pusi terbaik
kumpulan puisi terkenal karya oei sien tjwan
puisi keren banget
puisi judul negeri kabut





MALAM


Inang berbaju kelam
berhati pualam

yang menutun matahari masuk peraduan
yang menurunkan kelambu kantukmu perlahan-lahan
yang mengayun kamu dalam tidur yang tenteram

mengayun bumi dalam istirah yang dalam
dan memasang bagimu lampu-lampu bintang demi bintang
dan mengatupkan kelopak kembang
di halaman, dalam taman
di padang , di lembah dan hutan-hutan


(Hartojo andangdjaja)



Tag
kumpulan puisi terbaik 
puisi berjudul malam
puisi karya hartojo andangdjaya


HUJAN BULAN JUNI

HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono)

Tag
Puisi judul hujan bulan juni
kumpulan puisi terbaik

INTEROGASI CERMIN SLAMET RAHARDJO RAIS

INTEROGASI CERMIN SLAMET RAHARDJO RAIS
Puisi: Slamet Rahardjo Rais
Sumber: Suara Karya, Edisi 03/19/2006


Salam Matahari
matahari senantiasa mengirimkan kesetiaan
salamnya. sujudku hujan menjelang senja
sebagaimana harapan ladang-ladang
dan aroma tanah yang menunduk
walau dalam kantuk. baca dan simpan
semua yang lewat mengajariku
untuk memasuki tasbih mata langit
dzikir kota-kota yang mencemaskan kegelisahan
(anak-anak melesat terjebak pusaran
Pintu jendela rumah terasa belukar ilalang)
mengajariku agar burung mawarku terbang
berjabat tangan
ke tiang-tiang pasar
kereta api dan bis kota
tempat berjejal pikiran purba
sedemikian perkasa kekuatan membuat keutamaan
membunuh tumpukkan keputus-asaan
(mengunyah sujud lembah-lembah
Terowongan memanggil dalam wujud terang)
meminta ruh peristiwa
segera belajar terhadapnya
ketika berenang merebut kabut
membuat hujan
air meluas sebagai persajakan putih
menghalau belukar liar tumbuh di dalam dada

Interogasi Cermin
sejumlah interogasi terpahat di dinding
cermin memantulkan sejumlah wirid doa
menyelesaikan jarak
seorang pemburu melacak
suara yang lapar terjabak
tetapi yang terdengar petikan rebana
sebagai suara ayat-ayat kitab
dibacakan mengenang nasib tergeletak
tak mungkin tanpa menyebut
sejumlah luka
ombak mengusung kehendak
debar mengusung kerikil dan batu
menjadi onggokan tugu kota
megah sebagai saksi sejarah
kecemasan memang menggigilkan
nama senyap merekan suara. diam-diam
seekor cicak menggoyangkan isyarat purba
menyerahkan seikat bayang kemasgulan
memadati permukaan cermin. ruang
tempat terbaringnya waktu

Secangkir Kopi Pagi
secangkir kopi pagi sangat dirindu-rindukan
tempat persinggahan renungan
aromanya yang wangi menangkap
helai-helai daun mengering di udara
mengisi permukaan ruang
menjelma menjadi serdadu perang
membaca luas titik bidang
di atas meja
"sumur waktu" sepotong bisik
sambil menyerahkan daftar tutur kata
biarkan kekalahan menghitung kegagalannya
ketika seseorang bersimpuh
di tengah vas bunga raksasa
dengan menunjukkan beberapa luka tangan
"Luka segera mengering saudara,
setiakan memakmurkan tempat sujud kita!"

Ketika Senja
tanpa rintik rembulan pun bergegas
mabuk suara
anggur senja sudah disedia
erat gelas yang ditawarkan. aku mengambilnya
dan di pundak jendela sebuah agenda
gelas-gelas bergetar
suara yang mengaruskannya
terdapat gelas dalam kabut rembulan
setengah memucat mencatat wktu
memberi angin terhadap detak sayap
mempersiapkan tamasya kenikmatan
suara adzan menawarkan kendaraan
memasuki lorong paling sunyi dan gaduh
"Subhanallah. Alif Laam Miim!"

Gerimis Mayat
cakrawala melumat dirinya menjadi mayat
mengintai dan memucat
menjadi segerombolan ulat membelanjakan
mimpi-mimpi memakmurkan luas negeri
dalam gerimis hutan gemuruh kota
spanduk meminjam pesta rakyat
ketika memanjati menara dalam sebuah jubah
daun-daun peradaban menerima kabut
di dalamnya halte-halte
ruang tunggu yang menyerah

sebagai kalimat harap letih kecemasan
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Entri Populer

  • PAHLAWAN TANPA TANDA JASA SEBENAR-BENARNYA
  • KARENA WAJAH KITA TAK SAMA

Blog Archive

  • ►  2015 (35)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (23)
    • ►  May (2)
    • ►  January (2)
  • ▼  2014 (94)
    • ►  December (8)
    • ►  November (6)
    • ►  October (12)
    • ►  September (5)
    • ►  August (6)
    • ►  July (12)
    • ►  June (9)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ▼  February (12)
      • SUARA HATI NADIA
      • BONEKA UNTUK FITRI
      • ANAK GILA
      • JANJI EMAK
      • DINGIN TAK TERCATAT
      • KABUT TURUN BERGUMPAL-GUMPAL DARI PUNCAK GUNUNG
      • MALAM
      • HUJAN BULAN JUNI
      • INTEROGASI CERMIN SLAMET RAHARDJO RAIS
      • AKU DAN BINTANG JATUH
      • CERITA ABADI
      • KAMPUNG
    • ►  January (14)
  • ►  2013 (29)
    • ►  December (16)
    • ►  November (8)
    • ►  September (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2012 (25)
    • ►  December (4)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ►  August (3)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (9)
  • ►  2011 (13)
    • ►  December (1)
    • ►  November (3)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  January (1)
Betapa mudah dan tak sadar menjadi sombong dan tidak iklas dalam beramal (kata mutiara)

Powered by Blogger.
Copyright 2013 CERPEN 5M - All Rights Reserved
Template by Mas Sugeng - Powered by Blogger