Hah, kesal sekali kenapa orang-orang mengatakan diriku anak autis. Kadang-kadang mereka juga mengatakan diriku anak hiperaktiv..entah apa lagi namanya .Agghh yang jelas hari ini aku kesal. Masalahnya sepele, orang tuaku terlambat menjemputku, sehingga aku berjumpa dengan anak itu. Anak sok baik itu yang bernama Mamad eh Ahmad. Hugg gayanya sok mau berteman denganku.
“Aku tahu, banyak teman nggak suka kamu, tapi aku mau berteman denganmu, ibuku banyak cerita tentang penyakit autis.” katanya dengan wajah polos.
Uhh sebel sekali aku lihat muka sok baik itu. Yang jelas sampai di rumah aku mengamuk. Aku gak mau makan. Aku lemparkan mainanku ke tembok. Aku obrak-abrik kamarku. Bi Inah,pembantu rumah nampak menangis ketakutan. Sebenarnya bukan sekali ini saja aku mengamuk. Sering. Tapi masih saja Bi Inah ketakutan begitu.
“Masya Allah Ardii ?” Mami nampak sedih dan mencoba mengendalikan diriku. “Tenang Nak, tenaang ?” Mami merangkul diriku sekuat tenaga. Aku yang tidak bisa mengendalikan diri pun akhirnya perlahan luruh. Aku terduduk lemas. Kadang-kadang aku pun menangis. Entah menangis karena apa. Sore itu aku memilih sendiri di kamar, bermain dengan benda berwarna kotak itu. Mainan yang bisa diputar-putar, entah apa namanya. Kata Mami, itu pemberian dokter, yaah pemberian siapa nggak peduli. Aku suka mainan itu. Aku suka memainkannya sampai lupa waktu, berjam-jam sampai lupa makan. Aku sendiri di kamar itu. Aku asyiik sekali. Tidak ada yang mengerti aku..Sampai datang anak itu lagi, anak yang kutemui di sekolah..
“Hai Ardi, gi main apa ?’ anak itu memamerkan senyum ramahnya. Huug aku menoleh sekilas. Lalu asyik dengan mainanku. Mami mendekatiku, mencoba menasehati tingkahku agar menerima anak itu dengan baik. Anak itu bernama Ahmad, yeah aku hampir lupa namanya. Yaah,kalau lupa peduli amat..hehe…
Kata Mami Ahmad tuh tetangga baru. Masih famili. Kata Mami sih Ahmad itu sepupuku. Mami pun membiarkan kami sendiri. Mami mau melanjutkan menyetrika. Dan anak itu masih di tempatnya. Memperhatikan diriku. Sementara aku cuek saja, tak mempedulikan dirinya.
“ArDi, main yuk ?” ajak Ahmad setelah satu jam cuma diam saja. Dan rupanya dia tak tahan hanya memperhatikan diriku yang asyik bermain sendiri dengan mainanku. “Yuk, kita main bola di luar, asyik lho sore-sore begini main bola ?” celetuknya dengan wajah riang.
Aku terdiam. Aku terkejut. Perasaan selama ini belum ada anak yang mengajakku bermain. Aku menoleh ke arahnya sebentar.
“Oke, berarti kamu setuju, aku ambil bola dulu ya..teman…!” serunya riang sambil bergegas berlari ke luar kamar. Yeah, anak itu berlari ke luar padahal , padahal aku bilang iya juga belum. Tak beberapa lama, aku kaget. Sebuah bola dilemparkan dari luar ke arah jendela. Bola itu menggelinding ke kamarku. Mengenai wajahku. Aku berteriak girang. Kuambil bola itu. Aneh aku tertarik dengan kulit bundar itu, aku menyepaknya dengan kaki kecilku. Bola itu membentur lemari. Aku berteriak senang.
“Ardii, mainnya di luar yuk, masa main bola di kamar, nanti Mami kamu marah lho..” kata suara dari jendela. Kepala Ahmad nongol di jendela luar.
Aku melongo. Aku ikuti saja perintahnya. Kuambil bola itu dan aku keluar rumah melalui jendela. Aku dan Ahmad bermain bola di samping kamarku. Aku menendang bola itu jauh-jauh, Ahmad mengambil bola itu dan menendang kembali ke arahku. Kami tertawa-tawa. Aku girang sekali melihat bola itu lari kesana kemari, kutendang …kesana kemari,..kulempar ke wajah anak itu. Anak itu kesakitan. Aku pun tertawa ngakak. Bukan karena lucu melihat wajahnya, tapi karena bola itu sangat menarik. Aku tertarik sekali dengan bola. Sampai Ibu Ahmad datang , menyuruh Ahmad pulang bermain. Ahmad berjanji akan main lagi. Aku hanya terkekeh-kekeh. Dia meninggalkan bola itu padaku. Aku senang sekali.
Seharian aku main bola itu di kamar. Mami memperingatkanku supaya berhenti bermain. Tapi aku tak peduli, aku suka benda itu. Sampai pagi harinya, aku harus sekolah. Aku gak mau sekolah. Mami pun sia-sia saja membujukku untuk ke sekolah. Pernah sih Mami dan Papi mendiskusikan tentang sekolah khusus untuk diriku. Dan semester depan aku akan dipindahkan di sekolah khusus anak seperti diriku. Yang jelas pagi itu aku merasa lelah, dan aku tertidur setelah Mami memberiku obat. Aku terbangun sore hari itu, dan anak itu sudah ada di rumahku, membawa tas sekolah. Aku masih di kamar, bertutup selimut, merangkul bola di ranjang.
“Hai Ardi, tadi ada PR, yuk kita belajar bersama.” Kata Ahmad sambil mengeluarkan buku-buku dari tasnya. Aku terkejut. Aku tidak mau belajar. Tiba-tiba aku takut, takut kalau anak itu mengambil bolaku. Aku mendekap bolaku erat-erat.
“Adri main bolanya besok lagi yah, kita belajar , tadi kamu kan tidak sekolah, kata Pak Guru kamu harus rajin belajar di rumah…. “ kata Ahmad sambil mendekatiku, dan benar saja dia mau mengambil bolaku. Aku tidak mau. Aku melompat. Wajahku .ketakutan.
“Ardiii, aku tak menyakitimu !” kata Ahmad yang juga kaget, karena tak mengira aku begitu ketakutan. “Ya udah kalau kamu nggak mau menyimpan bola itu.” Ardi nampak putus asa lalu Ardi membuka bukunya, dan dia mengulurkan buku tulis itu ke arahku. “Di, coba baca buku Bahasa Indonesia ini Di, di situ PR nya,..kata pak guru kamu belum lancar membaca ya…?” kata Ardi sambil menatap ke arahku. Dia tak bermaksud mengejek. Tapi aku tidak suka gayanya. Aku tak suka dia mengajakku belajar.
Tiba-tiba aku menjerit. Aku mendorong tubuh anak itu. sampai anak itu terjatuh dan kepalanya terbentur lemari dan anak itu mengaduh kesakitan. tapi aku gak peduli. Buku anak itu kusobek-sobek. Aku mengamuk sejadi-jadinya. Mami ku dan Ibu Ahmad tergopoh ke kamarku mendengar teriakanku. Mereka berusaha memisahkanku. Aku berontak dalam erat Mami. “Mami, lepaaskan aku..?” teriakku . “lepaskaaann !!” aku berteriak-teriak sampai suaraku serak.
Ibu Ahmad pamit pulang bersama Ahmad sambil minta maaf. Mami pun meminta maaf dan agar Ibu Ahmad memaklumi tingkahku. Ibu Ahmad sepertinya mengerti. Yang jelas aku melongo. Tak mengerti kenapa Mami menangis memelukku, mengusap wajahku..menangisi diriku..aku tak mengerti…dalam dekapan Mami aku terasa tenang…sampai Mami memberiku obat dan aku tertidur dengan pulas..dan tenang….
Hari berikutnya, aku sendiri, selalu sendiri seperti biasa, tidak ada teman yang mendekatiku. Aku teringat anak itu …Ahmad pasti tak berani lagi mendekatiku, setelah aku mengamuk sore itu. tapi apa peduliku, aku sudah biasa sendiri. Di halaman ini, aku memantulkan si kulit bundar itu. Aku asyik dengan duniaku sendiri. Sampai seseorang datang menepuk pundakku.
“Ardi..? main bola di samping rumah aja …yuk ?” kata anak itu sambil tersenyum tulus kepadaku. Aku melongo. Dia Ahmad. Dia tidak marah. Dia sepertinya memaafkanku. Mungkinkah dia memaafkanku. Mau bermain denganku, dan berteman denganku..anak yang tidak bisa mengontrol diri dan mengendalikan emosinya. Anak yang kata orang-orang autis atau hiperaktif…atau anak apalah…..Ahmad mengambil bola di tanganku….aku pun tertawa …asyikk…bermain bola..aku suka itu….
Tag
cerpen persahabatan cerpen 5 m,
cerpen sahabat anak autis,
cerpen kumpulan cerpen