Tidak ada yang abadi, baik kesedihan maupun kegembiraan.
Kita harus terus hidup. Saat ketidakberuntungan mengarahkan kita ke jalan buntu, kita harus mencari jalan
lain
(Miramar,
dikutip dari Naguib Mahfouz)
Mendung
memayungi rumah Hans dan Kakeknya. Nyanyian misterius tokek di atap genting itu mengiringi sore. Remaja tirus dengan
rambut ikal itu duduk di samping Kakeknya.
Sebentar-sebentar terdengar suara Kakek mengeluh.
“Hans,
kalau saja aku masih muda , aku pasti akan mengunjungi tempat-tempat indah, Kakek
gak takut bikin kesalahan, dan Kakek
akan makan es krim tanpa mengganggu harga diri Kakek. ”
“Aku
tahu kek, sudah sering Kakek mengatakan itu, Kakek istirahatlah , jangan
berlebihan !”
“Kakek akan mati, satu hari lagi, kamu jangan
pergi kemana-mana.”
“Siapa
yang percaya gosip itu Kek, Kakek hanya terkena sakit ulu hati, sudah biasa kan
Kakek begitu, nanti juga sembuh kek setelah minum obat,” ujar Hans dia menyelimuti Kakeknya.
“Jantung
Hans, rasanya jantung Kakek mau pecah, aku dengar lima hari lagi, dokter
mengatakan hal itu,” terdengar suara Kakek seperti tercekik tapi menurut Hans,Kakek
masih sehat.
Hans
hanya geleng-geleng kepala. Dia tetap
tersenyum meski sedikit kesal. Dia memandang wajah Kakeknya. Sangat pucat dan
lemah. Kakeknya sangat terpengaruh kata-kata dokter yang tidak jelas itu. Sudah
dia jelaskan maksud dokter bilang lima hari itu adalah Kakek harus lima hari
sekali check ke rumah sakit. Tapi Kakek tidak percaya kata-katanya. Menurut Kakek
dirinya hanya menghiburnya. Ditambah lagi suara tokek sialan itu menambah
keyakinan primitif kakek kalau nyawanya akan dicabut.
Perlahan
Hans menutup pintu dan keluar kamar. Kakek sudah tertidur pulas setelah meminum
obat dari dokter. Dia yakin setelah itu Kakek pasti akan pulih lagi. Hans
menghela nafas berat kemudian bergegas ke teras rumah. Dia memakai sandal
jepitnya lalu melangkah ke jalan setapak. Rumput liar sudah mengecambah di
halaman rumah. Bahkan tingginya sudah
mencapai lutut kakinya dan tidak ada yang peduli itu. Rasanya rumah itu sudah
menjadi kuburan baginya. Dan Rasanya sebulan ini dadanya pengap. Dia ingin
bertemu Dude.
Hans
berjalan gontai dengan kepala tertekuk.
Ia meremas saku jeansnya yang semakin kumal. Dia tidak ganti baju dua
hari ini. Rasanya semangat itu sudah terbang.
Tidak dipedulikan teriakan kenet di pinggir jalan yang mencari
penumpang.
“Kematian,
apakah itu yang diinginkan kakekku. Dia bilang, dia sudah melihat tanda-tanda
itu. Dari mimpi menjadi pocong dan hal yang tak masuk akal . Dia selalu bilang tolong kalau aku mati
hubungi ini itu dan permintaan maafku disampaikan, dan Kakek sudah menyiapkan
surat wasiat juga.”
Remaja
atletis berambut cepak dengan kaos singlet itu duduk di kursi kecil di samping sepeda
montornya, menopang dagunya menatap Hans. Ia setia mendengarkan cerita Hans.
Dia sahabat yang baik. Dia tidak memotong kata-kata Hans. Dia merasa Hans
sedang tidak seimbang jiwanya semenjak pengumuman itu.
“Dude, ini menyebalkan,
Kakek seperti sudah di depan kematian. Aku
tahu teman-temannya sudah banyak yang meninggal. Tapi di waktu yang tersisa dia
bisa menikmati hidupnya. Dia masih bisa. “
Hans semakin emosi.
Dude masih membisu
saja. Ia larut dalam cerita sahabatnya dari SD
itu. Ia tidak ingin mengomentari ataupun mengkritik ucapannya.
“Tapi Dude,
ternyata tidak semangat juga bisa
dihadapi oleh siapa saja. Dude, kalau saja saat ini ajal menjemputku sepertinya aku rela. Setelah aku tidak diterima
di Perguruan tinggi impianku, aku merasa tidak berguna, kerjaku cuma lontang lantung main tidak jelas, rasanya tidak enak menganggur selama setahun
dan aku tidak punya pegangan lagi.”
“Jangan berkata
begitu, Hans ! sebelum ajal berpantang mati, hidup mati seseorang Tuhanlah yang
menentukan, kamu jangan merasa begitu. Kamu
harus bersyukur di waktu kosong kamu bisa tinggal dan merawat Kakek.” Dude merasa harus menyadarkan Hans. Dia tidak
ingin Hans larut dalam kesedihan.
Hans
terpekur. Ia memandang sahabatnya Dude. Ia merasa pemuda itu sangat beruntung.
Dude di terima di sekolah pilot. Dude selalu nampak bahagia. Dia selalu sukses. Sebulan lagi ia pasti akan meninggalkan rumah
itu dan ia tidak bisa bermain dengan Hans. Lalu Dude mengobrol hal lain. Dude
mengajaknya touring bersama geng nya.
Tapi Hans memilih di rumah saja. Ia malu bertemu dengan teman-temannya.
Ini
hari kelima di bulan Desember. Awan bertumpuk-tumpuk seperti kapas terbang. Angin
sore menghalau daun kelapa di halaman rumah, menghempaskan-hempaskan
jendela rumah seolah meneriakkan cerita sedih. Seorang kakek dan cucunya duduk
di teras rumah. Pandangan mereka kosong, dan larut dalam pikiran sendiri. Suara
tokek tidak terdengar mengganggu kehidupan kakek. Hans duduk di kursi rotan
lapuk. Dia masih tidak semangat berbicara dengan kakeknya.
“Temanmu
itu Dude, Kakek tahu dia itu baik, aku
tahu dia pasti mendapat tempat yang baik, dia masih muda dan meninggalkan
kenangan yang baik, banyak yang kehilangan dia,” kata Kakek sambil menoleh ke arah Hans. Wajahnya sudah nampak
merah lagi. Ia memberi semangat pada Hans.
Ia tidak tega melihat cucunya itu setiap hari berdiam diri saja. Ia tidak ingin
menjadi beban Hans. Sekarang ia baru
tahu apa itu hidup. Kemarin ia benar-benar takut mati sehingga ia pasrah. Tapi
ketakutan itu ada baiknya. Ia menjadi lebih siap dan juga ingin meninggalkan
kebaikan lebih banyak di waktunya yang sedikit. Dan apakah kehidupan itu ?
hanya permainan singkat yang dimainkan dengan rasa enggan sampai ia menemukan
dirinya berhadap-hadapan dengan takdirnya yang sudah berakhir (respected sir)
Harusnya
aku yang mati, bukan Dude, jerit batin Hans.
Dia menunduk di kursi dan mulai menangis
terguncang-guncang. Dia tidak menyangka Dude kecelakaan di jalan waktu touring
dan ia meninggal seketika di tempat kejadian. Dude sahabat baiknya yang satu
bulan ini akan studi dan ia masih sangat muda dan kebanggaan orang tuanya.
Tidak ada yang menyangka.
“Ayo,
kita keluar Hans, Kakek masih hidup kan ?” kata Kakek sambil berkacak pinggang.
Hans masih terpaku di kursi. Ia memandang ke mata
kakek, sepertinya ada energi baru. Ya semangat hidup itu terpancar dan mengalir
ke arahnya.
“Hans, hidup terus berjalan, ” Kakek menyeret tangan Hans.
Dia menyuruh Hans mengambil kunci sepeda motor.
“Kita
kemana Kek ?”
“Ke
pasar, Hans, cari bibit jeruk dan kelinci. Kita beternak, di lahan belakang Kakek
kan masih kosong. Kita bisa buat usaha Hans.”
Hans
melongo. Dia heran secepat itu Kakek
berubah, sepuluh hari yang lalu dia
teronggok di kamar kayak mayat hidup.
“Kenapa
mematung ? mau mengganggur ? Kakek aja
yang sudah tua tidak betah buat menganggur, mumpung masih ada usia Hans. Selama
masih ada kehidupan tidak ada alasan untuk berputus asa.”
Hans
hanya garuk-garuk kepala dan berjalan mengikuti langkah pelan Kakeknya ke
halaman.
(PKT)
Ciaaa
Cerita di atas terinspirasi oleh
1. cerpen sehari menunggu maut karya ernest
hemingway
2. life’s wisdom Naguib Mahfouz
3. dll
4.Perenungan