Uangku tinggal tujuh ribu. Harusnya ini kubelikan bakso buat mengganjal perutku. Sialnya tadi pagi aku tergesa ke sekolah sehingga aku tidak sempat makan dan perutku keroncongan begini.
"Ko ! jadi nggak beli baksonya !" Pak Maman menimbang-nimbang mangkok bakso dan melihatku ragu-ragu.
"He,..gak jadi Pak, beli itu aja..es jeruk sama, donat lima aja Pak !" aku merenges sambil menunjuk ke kaca kotak donat. Yoyon suka donat dan es jeruk, jadi kubelikan untuknya. Segera aku membayar pada Pak Maman setelah mendapatkan makanan itu.
Aku berlari menuju ke kelasku. Istirahat pertama aku melihat Yoyon di halaman kelas. Dia seperti biasa dikerumuni teman-temanku, dan aku harus ikut bergabung dengan mereka. Kalau enggak aku akan duduk di pinggir kelas sendirian, terkucilkan dan aku tidak ingin seperti itu. Nanti teman-teman perempuanku akan menanyakan dan mengira aku sakit.
Aku berjalan dengan kaku ke arah kerumunan. Dan Yoyon segera menyambutku dan merebut es di tanganku dan juga donat itu. Aku berharap dia senang dan aku diterima nongkrong bersama mereka. Tapi hati Yoyon mungkin sedang tidak enak, dia malah menyemburkan air es jeruk itu ke wajahku. Dan teman-temanku menertawakanku. Sial, aku malu sekali saat itu. Aku hanya menundukkan kepala.
"He, cebol !.......donatnya gak enak, kamu belinya yang murahan sih !" semprot Fajar. Dia mengunyah donat itu, dan membagikan pada Sufi, Rudi dan juga Gading. Mereka menghabiskan donat itu dan tidak membagikan padaku, padahal perutku lapar sekali waktu itu. Dan itu adalah makananku dan mereka sudah mengambilnya, tapi tidak apa-apa asalkan Yoyon mau tersenyum padaku, tapi dia tidak. Yoyon bermuka masam, seolah ingin memukulku. Aku takut dia menghajarku lagi seperti waktu kemarin.. Aku merasa tulangku linu, aku masih merasakan sakitnya dipukul Yoyon.
Aku pun memilih menyingkir dari tempat itu. Aku teringat saja hari itu. Aku berjalan cepat sambil menunduk. Dan kepalaku mendadak pusing. Aku merasa susah bernafas. Aku berjalan sempoyongan ke dalam kelas, dan aku jatuh terhempas di kursiku. Aku pingsan.
Aku melihat, dalam kegelapan, aku melihat diriku di pinggir jalan. Waktu itu hanya ada sedikit sinar bulan, aku melihat Yoyon , Sufi , Gading dan Rudi tertawa menyeringai ke arahku. Mereka membawa bambu, mereka pasti akan melukaiku lagi. Tapi kenapa tiba-tiba tanganku menggigil, dan aku merasa mau meledak. Tangaku tiba-tiba membesar, kepalaku membengkak, dan aku berubah menjadi raksasa, ya seperti Hulk saja, tubuhku yang kecil berubah menjadi sebesar pohon akasia di depan sekolah, dan Yoyon mundur ketakutan. Yoyon, Sufi dan Rudi berlari dan aku mengejar mereka, aku meraih tubuh mereka, dan tubuh mereka aku hancurkan, sekarang mereka tidak bisa melukaiku lagi, dan tidak ada yang membuatku takut di sekolah itu.
Aku terbangun sambil tersenyum. Aku kaget, ternyata aku berada di ruang UKS.
"Ko, kamu tidak apa-apa, kamu sakit apa, Ko ?" Ratna menyentuh dahi kepalaku, di sela-sela rambut poniku terlihat goresan. Aku mengira lukaku seminggu yang lalu sudah mengering, tapi ternyata masih ada bekasnya.
Aku melihat di situ anak-anak mengerubungiku. Dan aku melihat di kejauhan sosok Yoyon di deretan paling belakang. Suara hatiku menjerit mengatakan sesuatu. Tapi mulutku terkunci. Aku tidak berani mengatakan sesuatu pada mereka. Itu lebih aman buatku. Setidaknya untuk beberapa hari ini aku ingin tenang.
Tapi tetap saja mereka tidak menerimaku. Mereka terus menekanku sampai akhirnya meletuslah kemarahanku. Aku tidak ingin selalu tertindas. Biar saja Yoyon dan kawan-kawanku membenciku, tapi tidak untuk sarapan yang dibuatkan ibuku. Nasi goreng dalam kotak bekal itu, mereka meledeknya, dan aku tidak rela karena itu adalah bikinan ibuku.
"Nasi goreng hahha, nasi mambu !" sela Rudi.
"Bau aja , basi tahu ! makan nasi basi !" Yoyon ketawa terbahak sambil menunjuk ke kotak makananku. Dan semua teman-temannya pun ikut tertawa.
"Gak lucu ! gila kalian , ini nasi goreng terlezat, tahu !" ujarku sambil menyeringai frustasi. Dan aku merasa lega. Untuk pertama kali aku bisa membuat mereka merah padam. Dan aku kaget dengan keberanianku tadi. Aku pun tidak tahu, datang dari mana kekuatan kata-kata itu. Sekarang aku tersenyum, seolah aku yang menang, seolah aku bukan kecoa lagi. Aku adalah singa, dan mereka adalah monyet.
Tapi efeknya tidak baik bagiku, pulang sekolah mereka sudah menantiku. "Ko !" teriak mereka memanggiku. Sepatu mereka bergedebuk menghampiriku. Aku hanya menoleh sebentar ke arah mereka lalu tetap berjalan pulang menyusuri jalan dan berusaha tidak mempedulikan mereka. Aku menundukkan kepala dengan dada berdebar karena takut, sial kenapa aku kembali merasa ketakutan menghadapi mereka, dan aku melihat kaki mereka berjalan cepat merapat di sampingku dan mencoba menjejeriku. "Ko!! mana uang buat beli mie ayam !" desak mereka.
"Sekarang ,Ko !" sentak Galih.
"Aku tak punya uang !" ujarku berbohong. Aku menelusupkan tanganku ke kantong celanaku.
Tiba-tiba Yoyon menangkap pinggangku, kemudian Fajar, dan Sufi menyambar dan mencengkeram lengan tanganku. Aku tak bisa bergerak. Yoyon merogoh sakuku, dan dia menemukan uangku."Ini apa ? !" mata Yoyon tajam menatapku "Pembohong, ! hajar dia !" perintah Yoyon.
Aku dapat merasakan kemurkaan Yoyon dari jotosan tangan Yoyon ke wajahku. Fajar, Sufi , Gading serta Rudi pun berteriak kesal terhadapku. Mereka lalu memukul perutku. Aku mencoba melawan mereka, tapi aku kalah. Mereka lebih kuat dariku dan jumlah mereka banyak. Mereka lalu menarik tanganku di pinggir jalan dan memaksaku berjalan ke tempat sepi dan sejauh mata memandang dikelilingi ladang jagung. Waktu itu berlalu cepat dan aku merasa lemas, mataku sakit. Perih di sana sini. Ada darah menetes lagi di kepalaku. Aku tersungkur terlentang di tanah.
"Yon ! Eko tidak bernafas !" pekik Sufi tiba-tiba dan dia melepas tanganku yang kaku.
Yoyon, Fajar dan Rudi terperangah.
Aku terkapar di tanah, dan aku melihat sinar matahari menyilaukanku.Aku berharap ada yang melihat perbuatan mereka terhadapku Tapi tempat itu terlalu sepi dan hanya ada burung-burung beterbangan di angkasa, warnanya putih dan burung-burung itu tak bisa menolongku. Mereka akhirnya menghentikan pukulan terhadapku mungkin mereka sudah puas dan juga sudah merasa capek memukulku. Yang jelas aku diam tergolek saja ketika mereka berlari meninggalkanku .
Aku hanya tesenyum, aku melihat ke langit, pada awan putih, mereka bergumpal-gumpal seolah menjemputku. Aku pergi terlalu cepat, maafkan aku teman, sekarang aku lebih bahagia kayaknya karena awan putih itu akan membawaku ke tempat impianku, di mana tidak ada kesedihan, hinaan, kekerasan, dan juga pemaksaan terhadapku
ILUSTRASI GAMBAR : VIDEO PENDEK HUNTER