CERPEN 5M

hahaha

  • Home
  • Quote gua
  • CERPEN
  • DAFTAR ISI
  • OPINI
  • TENTANG BLOG
Home » Archive for 08/01/2012 - 09/01/2012

Tuesday, 28 August 2012

IMPIAN KANAK-KANAK DAN SONNET X

kumpulan puisi terkenal negeri kabut


IMPIAN KANAK-KANAK
Di jalur impian
Tempat sepi
Kanak-kanak itu bermain
Menguasai hari
Hingga tergetar tangannya
Hangus hatinya
Matahari kini di tangan
Bulan di telapakan
Diam-diam diangsurkan kepada kita
Yang kita sebelumnya
Memang telah menyembunyikan di dalam hati


SONNET : X
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut itu
Siapa menggertap di bunga layu
Siapa cerna di awan ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
:siapa aku
(1968)



Saturday, 11 August 2012

Lima Hari Menunggu Maut



Tidak ada yang abadi, baik kesedihan maupun kegembiraan. Kita harus terus hidup. Saat ketidakberuntungan mengarahkan  kita ke jalan buntu, kita harus mencari jalan lain
(Miramar, dikutip dari Naguib Mahfouz)

                Mendung memayungi rumah Hans dan Kakeknya. Nyanyian misterius tokek di atap genting  itu mengiringi sore. Remaja tirus dengan rambut ikal itu  duduk di samping Kakeknya. Sebentar-sebentar terdengar suara Kakek mengeluh.
                “Hans, kalau saja aku masih muda , aku pasti akan mengunjungi tempat-tempat indah, Kakek gak takut   bikin kesalahan, dan Kakek akan makan es krim tanpa mengganggu harga diri Kakek. ”             
                “Aku tahu kek, sudah sering Kakek mengatakan itu, Kakek istirahatlah , jangan berlebihan !”
                 “Kakek akan mati, satu hari lagi, kamu jangan pergi kemana-mana.”
                “Siapa yang percaya gosip itu Kek, Kakek hanya terkena sakit ulu hati, sudah biasa kan Kakek begitu, nanti juga sembuh kek setelah minum obat,”  ujar Hans dia menyelimuti Kakeknya.
                “Jantung Hans, rasanya jantung Kakek mau pecah, aku dengar lima hari lagi, dokter mengatakan hal itu,” terdengar suara Kakek seperti tercekik tapi menurut Hans,Kakek masih sehat.
                Hans hanya geleng-geleng kepala.  Dia tetap tersenyum meski sedikit kesal. Dia memandang wajah Kakeknya. Sangat pucat dan lemah. Kakeknya sangat terpengaruh kata-kata dokter yang tidak jelas itu. Sudah dia jelaskan maksud dokter bilang lima hari itu adalah Kakek harus lima hari sekali check ke rumah sakit. Tapi Kakek tidak percaya kata-katanya. Menurut Kakek dirinya hanya menghiburnya. Ditambah lagi suara tokek sialan itu menambah keyakinan primitif kakek kalau nyawanya akan dicabut.
                Perlahan Hans menutup pintu dan keluar kamar. Kakek sudah tertidur pulas setelah meminum obat dari dokter. Dia yakin setelah itu Kakek pasti akan pulih lagi. Hans menghela nafas berat kemudian bergegas ke teras rumah. Dia memakai sandal jepitnya lalu melangkah ke jalan setapak. Rumput liar sudah mengecambah di halaman rumah.  Bahkan tingginya sudah mencapai lutut kakinya dan tidak ada yang peduli itu. Rasanya rumah itu sudah menjadi kuburan baginya. Dan Rasanya sebulan ini dadanya pengap. Dia ingin bertemu Dude.
                Hans berjalan gontai dengan kepala tertekuk.  Ia meremas saku jeansnya yang semakin kumal. Dia tidak ganti baju dua hari ini. Rasanya semangat itu sudah terbang.  Tidak dipedulikan teriakan kenet di pinggir jalan yang mencari penumpang.
                “Kematian, apakah itu yang diinginkan kakekku. Dia bilang, dia sudah melihat tanda-tanda itu. Dari mimpi menjadi pocong dan hal yang tak masuk akal .  Dia selalu bilang tolong kalau aku mati hubungi ini itu dan permintaan maafku disampaikan, dan Kakek sudah menyiapkan surat wasiat juga.” 
                Remaja atletis berambut cepak dengan kaos singlet  itu duduk di kursi kecil di samping sepeda montornya, menopang dagunya menatap Hans. Ia setia mendengarkan cerita Hans. Dia sahabat yang baik. Dia tidak memotong kata-kata Hans. Dia merasa Hans sedang tidak seimbang jiwanya semenjak pengumuman itu.
“Dude, ini menyebalkan,  Kakek seperti sudah di depan kematian. Aku tahu teman-temannya sudah banyak yang meninggal. Tapi di waktu yang tersisa dia bisa menikmati hidupnya. Dia masih bisa. “  Hans semakin emosi.
Dude masih membisu saja. Ia larut dalam cerita sahabatnya dari SD  itu. Ia tidak ingin mengomentari ataupun mengkritik ucapannya.
“Tapi Dude, ternyata tidak semangat juga  bisa dihadapi oleh siapa saja. Dude, kalau saja saat ini ajal menjemputku  sepertinya aku rela. Setelah aku tidak diterima di Perguruan tinggi impianku, aku merasa tidak berguna, kerjaku  cuma lontang lantung main tidak jelas,  rasanya tidak enak menganggur selama setahun dan aku tidak punya pegangan lagi.”
“Jangan berkata begitu, Hans ! sebelum ajal berpantang mati, hidup mati seseorang Tuhanlah yang menentukan,  kamu jangan merasa begitu.   Kamu harus bersyukur di waktu kosong kamu  bisa tinggal dan merawat Kakek.”  Dude merasa harus menyadarkan Hans. Dia tidak ingin Hans larut dalam kesedihan.
                Hans terpekur. Ia memandang sahabatnya Dude. Ia merasa pemuda itu sangat beruntung. Dude di terima di sekolah pilot. Dude selalu nampak bahagia.  Dia selalu sukses.  Sebulan lagi ia pasti akan meninggalkan rumah itu dan ia tidak bisa bermain dengan Hans. Lalu Dude mengobrol hal lain. Dude mengajaknya touring  bersama geng nya. Tapi Hans memilih di rumah saja. Ia malu bertemu dengan teman-temannya.
                Ini hari kelima di bulan Desember. Awan bertumpuk-tumpuk seperti kapas terbang. Angin sore menghalau  daun kelapa  di halaman rumah, menghempaskan-hempaskan jendela rumah seolah meneriakkan cerita sedih. Seorang kakek dan cucunya duduk di teras rumah. Pandangan mereka kosong, dan larut dalam pikiran sendiri. Suara tokek tidak terdengar mengganggu kehidupan kakek. Hans duduk di kursi rotan lapuk. Dia masih tidak semangat berbicara dengan kakeknya.
                “Temanmu itu Dude, Kakek tahu dia  itu baik, aku tahu dia pasti mendapat tempat yang baik, dia masih muda dan meninggalkan kenangan yang baik, banyak yang kehilangan dia,”  kata Kakek sambil  menoleh ke arah Hans. Wajahnya sudah nampak merah  lagi. Ia memberi semangat pada Hans. Ia tidak tega melihat cucunya itu setiap hari berdiam diri saja. Ia tidak ingin menjadi beban Hans.  Sekarang ia baru tahu apa itu hidup. Kemarin ia benar-benar takut mati sehingga ia pasrah. Tapi ketakutan itu ada baiknya. Ia menjadi lebih siap dan juga ingin meninggalkan kebaikan lebih banyak di waktunya yang sedikit. Dan apakah kehidupan itu ? hanya permainan singkat yang dimainkan dengan rasa enggan sampai ia menemukan dirinya berhadap-hadapan dengan takdirnya yang sudah berakhir (respected sir)
                Harusnya aku yang mati, bukan Dude,  jerit batin Hans. Dia  menunduk di kursi dan mulai menangis terguncang-guncang. Dia tidak menyangka Dude kecelakaan di jalan waktu touring dan ia meninggal seketika di tempat kejadian. Dude sahabat baiknya yang satu bulan ini akan studi dan ia masih sangat muda dan kebanggaan orang tuanya. Tidak ada yang menyangka.
                “Ayo, kita keluar Hans, Kakek masih hidup kan ?” kata Kakek sambil berkacak pinggang.
                Hans  masih terpaku di kursi. Ia memandang ke mata kakek, sepertinya ada energi baru. Ya semangat hidup itu terpancar dan mengalir ke arahnya.
 “Hans,  hidup terus berjalan, ” Kakek menyeret tangan Hans. Dia menyuruh Hans mengambil kunci sepeda motor.
                “Kita kemana Kek ?”
                “Ke pasar, Hans, cari bibit jeruk dan kelinci. Kita beternak, di lahan belakang Kakek kan masih kosong. Kita bisa buat usaha Hans.”
                Hans melongo. Dia heran secepat itu  Kakek berubah, sepuluh hari  yang lalu dia teronggok di kamar kayak mayat hidup.
                “Kenapa mematung ?  mau mengganggur ? Kakek aja yang sudah tua tidak betah buat menganggur, mumpung masih ada usia Hans. Selama masih ada kehidupan tidak ada alasan untuk berputus asa.”
                Hans hanya garuk-garuk kepala dan berjalan mengikuti langkah pelan Kakeknya ke halaman.


(PKT)
               


Ciaaa
Cerita di atas terinspirasi oleh
1. cerpen sehari menunggu maut karya ernest hemingway
2. life’s wisdom Naguib Mahfouz
3. dll
4.Perenungan

Monday, 6 August 2012

BAPAKKU PENCURI

cerpen religi judul bapakku pencuri


  Nampak cewek berkerudung, dengan kemeja panjang dan rok lebar semata kaki  masuk ke dalam bus kota. Cewek itu mengenakan tas punggung. Dan ia terlihat anggun dan mandiri. Nama cewek itu adalah Mita. Ia biasanya pakai motor. Tapi motornya bocor dan harus dititipkan di bengkel. Ia tidak bisa menunggu karena harus menjemput adiknya. Kalau terlambat ia bisa dimarahi adiknya.

       Bus penuh sesak, Mita merasa gerah. Asap rokok dan bau keringat. Dan penumpang tampak tidak ramah. Tiba-tiba seorang pengamen datang. Ia memakai topi lebar sehingga wajahnya tidak kelihatan. Tubuhnya agak gempal. Dan ia mulai menggebrak gitar soaknya.

     “Selamat siang bapak , ibu, persembahan dari pengamen jalanan.” Suaranya nampak renyah. Mulailah dia bernyanyi. Biasanya suara pengamen yang  Mita jumpai itu gak ada yang asik. Tapi pengamen itu, Mita membuka matanya. Suaranya bening banget dan serak-serak seperti suara Ariel peter pan. Woow, siapa sih pengamen itu. Ia menyanyikan lagu berbahasa inggris lagunya The beatles. Itu kan  band kesayangan Mita. Kereen banget.

      “love-love love, theres nothing you cant do that can’t be done. Nothing you can sing that can’t sung. Nothing you can say, but you can learn how to play this game, it’s easy...” dst.
   All you need is love. Hah. Mita senang banget ndengerin lagu itu. Seketika rasa pusing dan kekesalannya akibat motor nya yang mogok mendadak hilang. Ia merogoh uang lima ribu. Ia akan ngasih uang itu untuk pengamen bersuara merdu itu.

    Pengamen berjalan  pelan menyusuri penumpang sambil menengadahkan topi lebarnya buat menerima recehan. Tiba di kursi Mita. Ia senang mendapat uang lima ribuan.
  “Terima kasih Mbak !” ucap pengamen itu.
    Mita tersentak. Ia seperti kenal suara itu. Ia mendongak dan ia memandang dengan jelas pengamen itu. Ia itu Moko. Yach Moko teman di kelasnya. Ia tak menyangka Moko itu pengamen.
    “Eh Mita yach !”  celetuk Moko dengan wajah malu. Selama ini memang tidak ada yang tahu kalau ia mengamen. Ia buru-buru turun dari bus kota ketika bus itu berhenti di lampu merah.
   Mita memandang Moko dari jendela bus. Ia melihat Moko berlari di pinggir trotoar. bergabung dengan anak pengamen jalanan yang lain. Mereka nampak tertawa dan juga menyedihkan.
    Huff. Mita menghempaskan punggungnya di kursi bus. Ia merenung. Buat apa sih Moko mengamen. Bukankah itu akan mengganggu belajarnya. Apakah orang tuanya sudah tidak bertanggung jawab sehingga membiarkan anak yang seharusnya tugasnya hanya belajar bergelantungan di bus kota.

    Mita betul-betul tidak mengerti. Siang itu petir menggelegar di langit. Awan hitam datang berbodong-bondong. Dan hujan turun rintik-rintik membasahi kota yang panas itu.

Moko berlari-lari menuju ke halaman rumahnya. Rambutnya basah. Gitar soaknya dipeluknya. Dan sampai di teras rumah tubuhnya sudah basah kuyup. Ia membuka pintu depan lalu meraih handuk kucel di jemuran di ruang tamu lalu mengeringkan rambutnya dan ia termangu, ia melihat bapaknya sedang sibuk memredeli sebuah motor.
    “Bapak ?”  sapa Moko. Ia senang bapaknya pulang. Bapaknya Moko hanya berdehem. Ia tidak menengok ke arah Moko. Dan larut dalam kesibukannya. Terlihat lintingan rokok terselip di bibirnya.
    “Bapak, nyuri lagi yah ?” geram Moko yang masih berdiri terpaku di depan pintu.
    Bapak Moko terdiam. Ia tersenyum sejenak. “Bukan urusanmu, yang jelas nanti ayah akan belikan kamu piano dan juga gitar yang bagus, biar kamu kelak jadi penyanyi beneran hahaha !” Pak Sentot ayah Moko itu tertawa sengak.

     Moko mendengus kesal. Ia berlari ke kamarnya. Ia membanting pintu kamarnya dan ia  meringkuk di pojok kasurnya.  Kenapa sih, bapaknya masih saja melakukan pekerjaan yang berbahaya seperti itu. Moko kalut. Ia tidak suka bapaknya masih menggeluti pekerjaan haram itu. Lebih baik menjadi pengamen daripada menjadi pencuri, guman Moko, lalu untuk menenangkan hatinya Moko bernyanyi sendiri di kamarnya yang penuh tempelan poster john lennon, paul mc cartney, ringo star dkk. “There are places i’ll remember. All my a life though some hace changed. Some forever, not for better. Some have gone  and some remain....(in my life)

     Esok harinya di sekolah Mita menemui Moko. Dan ia ingin Moko menyanyi lagi. Dan ia dikelilingi teman-teman kelasnya Moko menyanyikan lagu the baetles lagu berjudul eanor rigby. Semua bertepuk tangan dan memuji Moko. Mereka nggak menyangka Moko hafal lagu-lagu the beatles, dan ia menyanyikannya dengan baik.
  waktu  istirahat, Moko menyelinap ke perpus. Ia bersama beberapa temannya duduk buat membaca koran hari itu. Dan Moko terpekur dia melihat headline berita kriminal. Seorang pencuri sepeda motor digebuki massa sampai meninggal lalu dibakar. Sadis banget.
     Moko merinding. Ia teringat bapaknya. Seketika wajahnya pucat. Dan ia buru-buru keluar dari perpus dengan wajah ditekuk dan sayu. Ia bingung dengan masalahnya. Bagaimana kalau bapaknya bernasib sama seperti di koran itu. Ia tidak ingin bapaknya bernasib tragis. Tiba-tiba ia ingin menemui Mita. Ia merasa Mita itu sahabat yang baik. Ia jarang mengkritik, pendiam tapi juga perhatian. Ia ingin minta pendapat Mita.

     Mita ternganga ketika Moko bercerita kalau ayahnya pencuri. Ia melihat mata Moko merah dan seperti menahan agar tidak menangis. Cowok itu ternyata menanggung beban yang berat. Mita meghela nafas panjang. Ia memainkan sendok mie ayamnya sehingga menimbulkan bunyi denting di mangkok bening itu.
  “Hmm, gimana yah, rumit juga. Tapi kalau ayahmu tetap mencuri itu tidak diridhoi Allah. Kalau aku sarankan sich laporkan aja ke polisi, tapi itu berat banget kalau aku jadi kamu aku juga bingung..” kata Mita.  “Tapi berdoalah, Allah maha baik, ia akan membantumu melewati semua ini,”

      Melaporkan polisi. Hah, bagaimana mungkin seorang anak melaporkan ayahnya sendiri ke polisi. Lalu setelah curhat itu, Moko mengucapkan terima kasih pada  Mita dan ia berjalan pulang dengan gontai. Pikirannya berkecamuk. Sampai di rumah, ia melihat ayahnya sedang makan di ruang depan dengan petai dan sambil mengangkat kaki.
     “Moko, Bapak berikan kamu gitar baru tuh !” kata bapak sambil tertawa. Moko  terkejut. Ia melihat gitar baru yang jernih dan kincong di dipan rumahnya. Ia tak sabar ingin mengelusnya. Tapi langkahnya dihentikan.
   “Bapak  membeli gitar itu dengan hasil curian sepeda motor kan ?” desis Moko kesal.
   Bapaknya terdiam dan sedikit kesal. “Anak tak tahu diuntung, bapak sudah capek membelikan malah tak ada ucapan terima kasih, weleh.”
     Moko terpekur di kamarnya. Akhirnya ia mengambil keputusan ia akan melapor bapaknya ke polisi meski berat tapi itu lebih baik, supaya bapaknya kapok dan sadar.

     Siang itu dengan langkah berat Moko pergi ke kantor polsek . Di sana ia ditemui oleh wakapolsek Gunawan. “Ada apa Nak, kamu kelihatan bingung sekali, Bapak lihat kamu dari tadi berdiri di halaman polsek, mondar mandir nampak  seperti ragu-ragu,” 
    Lalu Moko menceritakan masalahnya dan ia mengatakan kalau bapaknya itu pencuri sepeda motor tapi Moko memohon agar wakapolsek tidak menghukum bapaknya.
   Wakapolsek menatap moko dengan takjub. Pemuda yang jujur dan berani. Jarang ada remaja seperti Moko, yang menyatakan kebenaran. Meski itu pahit dan mengorbankan ayahnya sendiri. “Terima kasih atas laporanmu Nak, bapakmu akan diperlakukan sesuai prosedur dan hukum yang berlaku.” Celetuk orang tua yang masih nampak gagah dan enerjik itu.
     Moko pamit pulang. Wajahnya sayu. Ia sudah siap dengan resiko akibat perbuatannya. Dan benar saja sore harinya. Rumah Moko di kepung polisi. Tetangga ribut melihat kejadian itu. Pak Sentot marah-marah, ia menyumpahi Moko yang melaporkan dirinya. “Anak durhaka ! aku ndak  punya anak seperti kamu !” murka pak sentot. Tangannya diborgol dan dia diseret ke tahanan mobil polisi. Kakinya sempat tertembak karena hendak melarikan diri.
      Moko berdiri di pinggir jalan dan memandang ayahnya sebagai pesakitan di atas mobil tahanan. Sirene polisi berbunyi, dan mobil polisi merangkak keluar dari gang rumah Moko. Ketika mobil melewati tempat berdiri Moko, Pak Sentot meludahi Moko dari jauh.
     Moko hanya menunduk. Dan tentu saja hatinya hancur dan sedih.
    Sebulan berlalu. Moko yang tabah tetap mengunjungi bapaknya di tahanan kabupaten. Ia membawa rantang makanan kesukaan ayahnya yaitu semur petai. Ia menunggu di luar karena jam tunggu belum dibuka. Tiba-tiba wakapolsek datang menghampiri.
     “Hei Nak kamu kan yang kemarin melapor Bapak kamu ya..?” tanya wakapolsek.
      Moko meringis. Ia duduk di sebelah Moko. Dan tiba-tiba Moko mendengar hp wakaposek  berbunyi. Ring tone lagu yesterday milik the beatles.  Setelah menerima telpon. Mereka kembali berbincang.
   “Bapak suka juga dengan the beatles ?” tanya Moko.
  “Suka aku penggemar jhon lennon !”
   “Aku juga suka,”
    Pak Gunawan ketawa gembira. “Oh yang lagu ini....say the  word and you’ll be free, say the word and be like me. Say the word im thingking of...”.
   “Itu kan lagu yang judulnya the word.”  Potong Moko. Hah, ternyata mereka berdua sama-sama maniak the beatles. Lalu mereka ngobrol panjang sambil sesekali nyanyi bareng. Dan mereka sering ngobrol grup band inggris itu dan sampai kadang-kadang lupa kalau hari sudah senja.

     Waktu telah melesat cepat. Sudah setahun lebih. Dan sebulan  lagi  Pak Sentot keluar dari tahanan.  Moko datang ke tahanan menengok  bapaknya. Ia  memakai baju rapi dan nampak manis. Di sampingnya pak wakapolsek Gunawan mendampinginya. Pak Gunawan sudah menganggap Moko sebagai anaknya. Dan ia yang tidak memiliki anak  mengangkat Moko menjadi anak angkatnya. Moko mendapatkan bantuan pendidikan dan juga kebutuhan sehari-hari dan hidupnya tidak terlantar.

     Moko bahagia sekali. Allah Maha besar. Kalau kita percaya pada kebesaran Nya. Allah akan membantu kita. Allah maha baik. Dia menyadarkan Pak Sentot. Ia tersentuh dan  melunak  hatinya oleh kesabaran dan ketelatenan  Moko yang sering menengoknya di penjara. Dalam hati Pak Sentot sudah memaafkan, sudah menerima Moko dan tidak marah lagi. Ia senang Moko  tamat SMA dan sebentar lagi melanjutkan kuliah atas biaya pak wakapolsek.

     Sore itu Moko nampak di antara bus kota. Ia ingin mengamen lagi. Ia memang suka menyanyi dan mengamen adalah  untuk kepuasan hatinya. Dan ia  menyanyi lagu religi. Dan semoga dengan menyanyi lagu religi ia mendapat pahala juga. Ihik...
           “Selamat siang bapak dan ibu, kami pengamen jalanan, akan menyanyikan lagu..lagu ini khusus kupersembahkan buat bapakku yang berada dipenjara...”
Moko memetik  gitarnya dan bernyanyi dengan mata berkaca-kaca.  “Bila saja umurku panjang. Kukan selalu mengabdi pada Mu. Bila nanti ku punya rizki. Ku kan pergi ke tanah suci.  Ya Allah kabulkan doaku.  Untuk menebus salahku. Ya Allah, berikan waktu tuk bahagiakan orangtuaku..” (lagu band Republik judul hidupku di jalan Mu)


Tamat .

(saya lupa kapan membuat cerpen ini, cerpen ini sudah lama sekali)




Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Entri Populer

  • PAHLAWAN TANPA TANDA JASA SEBENAR-BENARNYA
  • KARENA WAJAH KITA TAK SAMA

Blog Archive

  • ►  2015 (35)
    • ►  October (1)
    • ►  September (3)
    • ►  August (4)
    • ►  July (23)
    • ►  May (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2014 (94)
    • ►  December (8)
    • ►  November (6)
    • ►  October (12)
    • ►  September (5)
    • ►  August (6)
    • ►  July (12)
    • ►  June (9)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  February (12)
    • ►  January (14)
  • ►  2013 (29)
    • ►  December (16)
    • ►  November (8)
    • ►  September (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
    • ►  April (1)
  • ▼  2012 (25)
    • ►  December (4)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (4)
    • ▼  August (3)
      • IMPIAN KANAK-KANAK DAN SONNET X
      • Lima Hari Menunggu Maut
      • BAPAKKU PENCURI
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (9)
  • ►  2011 (13)
    • ►  December (1)
    • ►  November (3)
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  January (1)
Betapa mudah dan tak sadar menjadi sombong dan tidak iklas dalam beramal (kata mutiara)

Powered by Blogger.
Copyright 2013 CERPEN 5M - All Rights Reserved
Template by Mas Sugeng - Powered by Blogger