Tidak ada yang bisa menyembunyikan Bintang. Bintang itu temanku. Aku
bertemu dengannya ketika sekolah dasar. Dia seorang monster. Bukan. Dia
seorang boneka beruang. Tidak, tidak, dia itu seorang manusia. Seorang
anak sepertiku. Dia hanya seorang anak laki-laki yang tidak punya tangan
dan kaki. Sebenarnya dia punya tangan dan kaki tapi kecil sekali sampai
tidak kelihatan terselip di pakaiannya. Tapi semangatnya luar biasa.
Dia penderita tetra melia. Seorang yang cacat sejak dilahirkan, atau
apalah. Aku pun tidak tahu persis kenapa dia begitu. Yang jelas banyak
orang mengatakan itu takdir.
Nama dia Bintang. Pertama kali melihatnya aku langsung shock.
Tapi dia sangat percaya diri. Di atas kursi rodanya dia berkenalan
denganku.
“Anggun nama kamu yah..? Kita teman sebangku kan ?”
Aku mengangguk. Aku merasa ngeri aja punya teman sebangku
seperti dia. Tapi lama-lama setelah bergaul dengannya aku merasakan
bahwa aku bagaikan kakak perempuan baginya. Aku adalah pelindungnya.
Aku selalu menolongnya dan membentak anak-anak yang mengejek dan
mengganggunya. Dia pun di kelas bagaikan raja bagi kami. Tapi aku merasa
ayahnya Bintang dan juga Pak Angga sangat luar biasa kejamnya. Mereka
itu seperti bersekongkol untuk menyiksa Bintang.
Kejam. Karena ayahnya memaksanya sekolah di sekolah umum,
bukankah dia pantas belajar di sekolah khusus penyandang cacat . Dan aku
kesal pada pihak sekolah yang menerima dia di sekolah ini, mungkin
karena Bintang itu anak orang kaya dan ngasih uang spp gede banget jadi
anak cacat itu diterima, batinku saat itu.
Dan terutama pada Pak Angga, dia itu tak berperikemanusiaan. Dia
itu wali kelas tapi juga musuhku. Bayangkan dia memaksa Bintang gak
pakai kursi roda di kelas. Kursi roda itu diikat di pohon mangga tempat
parkir, sehingga Bintang harus susah payah ngesot dengan bokongnya agar
sampai di pintu kelas. Dan Pak Angga membuat peraturan super kejam pada
Bintang agar dia melakukan apapun sendiri. Seperti mengambil alat tulis
di lokernya sendiri. Padahal loker itu letaknya tinggi. Kami saja harus
menjinjit untuk mengambilnya apalagi dia, dia itu hanya setinggi lutut
kami. Tapi, Bintang juga sama kerasnya. Dia seperti tertantang. Dia
waktu itu tetap berjalan terseok mendekati loker lalu menggunakan kursi
kecil dan dia naik untuk mengambil alat tulisnya dengan susah payah.
Kami sekelas tertegun menatapnya. Dan ketika sampai di kursi belajarnya,
dia adalah yang terakhir, dan dia meledak tangisnya.
Kami tidak tahan untuk tidak protes pada Pak Angga. Dia bilang
pada kami, kalau semua itu dilakukan demi untuk kebaikan Bintang kelak.
Kalau dia selalu apa-apa dibantu, kelak dia akan tergantung pada kami.
Jadi intinya Pak Angga itu menganggap Bintang itu bukan orang cacat.
Kejam. Batinku saat itu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan guru
galak itu.
Pun pada bidang olahraga. Dia tetap memberikan tugas yang sama pada
Bintang. Ketika melakukan lompat tali dia memberi semangat pada
Bintang, ketika loncat tinggi dia pun memberi kan Bintang untuk
melakukan hal itu, tapi dia lebih lunak, loncat tinggi itu disesuaikan
dengan tinggi Bintang.
Lama-lama aku menyadari bahwa Bintang pun menyukai Pak Angga.
Apalagi waktu Pak Angga memilih dia ikut lomba lari dalam rangka hari
olahraga di sekolah. Meskipun akhirnya Bintang di urutan terakhir dan
dalam waktu yang sangat lama baru sampai finis, tapi luar biasa respon
dari teman-teman, wali murid dan para guru. Mereka semua memberi tepuk
tangan semangat pada Bintang agar tidak berhenti sebelum finis. Terlihat
Pak Angga yang paling berteriak keras. “Ayo Bintang, jangan berhenti
meskipun capai !” dan akhirnya Bintang sampai di finis, dia terlihat
gembira serasa menjadi juara satu. Bagiku juga dia tetap juara satu,
tapi Pak Angga bilang padanya. “harusnya kamu bisa lebih cepat dari
itu,” komentar Pak Angga sambil membungkuk menatap Bintang. Dan aku
tahu waktu itu wajah Bintang berbinar. Dia merasa Pak Angga melihatnya
bukanlah orang cacat, Pak Angga membuatnya tidak merasa berbeda dan itu
membuat dia bahagia.
Tuhan sekarang aku sadar, dan sejak saat itu cara pandangku pun
berbeda. Aku yang dulu membenci Pak Angga mendadak menjadi pengagumnya.
Aku pikir, Pak Angga itu pahlawan buat Bintang. Coba kalau dia
membiarkan Bintang selalu memakai kursi roda, tulang-tulang tubuhnya
akan lemah, dan tidak sekuat sekarang. Meskipun Bintang punya tangan dan
kaki yang sangat mungil, ia bisa melakukan apapun sendiri, seperti
menulis, melukis dengan mulut, bahkan main basket dengan tangan
mungilnya. Yach, kita saja yang menganggap dia cacat.
Aku berpikir dia sama saja seperti kita. Kalau aku pakai
kacamata bukankah aku juga tidak sempurna, kalau dia pakai kursi roda
bukankah juga tidak sempurna, jadi apa bedanya, kita sama-sama tidak
sempurna, dia sama saja dengan lainnya, ciptaan Tuhan bukankah ada yang
pendek, tinggi, hitam, putih, dan beraneka ragam. Tidak ada yang tampak
aneh dari orang tanpa anggota badan. Tak ada alasan membedakan orang
berdasarkan kondisi fisiknya semata-mata. Melihat dia aku lebih
menghargai ketidaksempurnaan.
Sekarang sudah tujuh tahun. Dan aku bertemu dengan Bintang.
“Dari mana saja kamu, Teman ?” sapaku sambil jongkok berhadapan dengannya.
“Main basket lah..?” ujar Bintang. Wajahnya masih penuh semangat.
Pakaiannya dan fisiknya terawat dengan baik. Aku tersenyum
memandangnya. Ia pun tersenyum seolah dia mengatakan aku tidak menyesali
kehidupanku, aku tidak perlu dilahirkan sebagai orang sempurna untuk
merasakan bahagia. Kondisi fisik tidak ada hubunganya dengan
kebahagiaan.
(Alhamdulilah selesai..)
2012-04-16 /// Inspirasi dari buku no ones perfect (kisah hidup hirotoda ototake)
tag : kumpulan cerpen online judul cerpen motivasi karena dia bintang