Puisi: Endang Supriadi
Sumber: Republika, Edisi
07/30/2006
KABAR BAGI MAIDA 1
aku terluka ditempat gempa, maida
bukan oleh puing atau reruntuhan dinding
tapi oleh derita yang tertangkap mata
telah mencabik-cabik batinku. aku melihat
rumah rebah ke tanah. kota yang dulu cantik
kini telah jadi kota puing
di sepanjang jalan mata seakan dicucuk
duri ikan. kepedihan mereka menyusup ke dada. <
aku tak berpikir ini salah siapa. saut pun
berpuisi, "bencana alam bukan dosa!"
dari desa mancingan sampai ujung imogiri
aku tak melihat ada wajah ceria. semua
terlipat oleh duka. dan tak ada kesan meminta
belum lagi situs-situs yang sekan diperhangus
ya allah, selamatkan sejarah, dan tabahkan
hati mereka
aku terluka di tempat gempa, maida
bukan oleh rasa sakit di pipiku yang tergores
pisau milikmu, atau oleh tajam alismu yang
menancap di hatiku. tapi oleh tangan ini,
tangan yang masih ingin memberi dan membantu
namun terhenti dibatas oleh waktu.
Yogyakarta, 11 Juni 2006
NEGERI DEBU
duka sebegitu tajam tergores di langit ini
sayap kupu-kupu tak bisa membawa beban debu
juga sapu lidi terlalu pendek untuk menyapu
sehektar puing yang dititipkan gempa kepadamu
ini wilayah angin, bisik daun pada
sebutir debu. dan debu itu memang
tak pernah melihat onggokan bukit kapur di sana
kecuali rumah-rumah yang rebah
ditidurkan angin
sebatas mana rentang tanganmu ketika
gelombang memindahkan perahumu ke jalan raya?
atau ketika langit jadi hitam oleh gerhana
atau ketika sebuah menara bergeser karena gempa?
kita akan kembali ke dalam keabadian
melalui liku-liku dalam riset waktu
tak mudah kita menemukan ujung benang
dalam rajutan alam, tak mudah kita
memintal benang jadi gelas bagi air.
Yogyakarta-Jakarta, 12-13 Juni 2006
SAAT DI MANA KAU
saat di mana kau datangi kubur masa lalumu,
angin akan terasa pasir, gemuruh air akan terasa
petir. di setiap kota kau bilang aku bodoh
karena memasang tiang gantungan di mana-mana
itulah aku, sebuah tongkang yang lama tak berlabuh
sedang jiwa terlalu sesak oleh propaganda kehidupan
tujuh kali kau telepon aku tanpa suara. mana ada
tuhan menciptakan telinga hanya untuk mendengar
pintu yang ditutup. cuaca, adalah bahasa waktu yang tak
bisa kita raba. siapa dapat menterjemahkan kepak burung
yang seharian terbang dan tak turun ke dahan? semestinya,
kita tak menyentuh bulu miang bambu itu!
Jakarta,
Maret 2006